JAKARTA: Rencana Pemerintah akan memungut iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dari karyawan swasta dikritik dan ditolak banyak pihak.
Pasalnya karena sebelumnya program Tapera hanya memotong gaji Aparat Sipil Negara (ASN).
Disatu sisi, program Tapera sebelumnya sudah menuai catatan negatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang melaporkan pada 2021, program ini tidak dapat mengembalikan uang simpanan kepada 124.960 orang pensiunan atau ahli waris sekitar Rp567 miliar.
Demikian terungkap dalam Media Briefing Terkait Update Program Tapera, Rabu (5/6/2024) yang diselenggarakan Kementerian Keuangan di Kantor BP Tapera, Melawai Jakarta Selatan.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna mengatakan, bahwa dana yang terkumpul melalui program Tapera merupakan investasi agar masyarakat dapat tetap menikmati bunga KPR yang rendah, yakni 5 persen.
Untuk itu ia meminta kepada penabung khususnya dan pihak terkait, agar memahami bahwa tabungan tadi, bagian dari dana yang dikumpulkan untuk nanti diinvestasikan.
Hasil investasi inilah lanjut Herry, yang dipakai membuat KPR dengan bunga terjangkau. Nantinya, program Tapera pesertanya dapat mengajukan KPR dengan bunga 5 persen. Ini lebih rendah dari bunga dipasaran yang mencapai 11 persen.
“Semakin banyak anggota program Tapera, maka akan cepat pula dana abadi pembelian rumah itu akan terbentuk, dan tambah banyak masyarakat yang dapat terlayani,” ujarnya.
Lebih jauh Herry mengatakan, nantinya iuran yang terkumpul dari BP Tapera tersebut akan digabungkan dengan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dari APBN.
Diakui, sekarang FLPP dan Tapera masih terpisah. Rencananya, ke depan akan digabung. Sehingga ini jadi blended gabungan dari keduanya.
Dengan cara ini, akan lebih banyak lagi yang bisa diperoleh, seperti yang dikonsepkan gotong royong.
Herry mengatakan program inipun dapat menjadi salah satu jalan keluar, dalam mengatasi masalah backlog atau kekurangan perumahan.
Mengingat jumlah backlog perumahan masih berkisar 9,9 juta.
Jadi latar belakangnya tambah Herry, bagaimana pemerintah memberikan fasilitas rumah bagi semua. Karena disadari memang angka backlog yang demikian besar tidak bisa sepenuhnya dipenuhi dari pemerintah saja.
Ia menuturkan bahwa program Tapera bertujuan untuk merealisasikan amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Unjuk Rasa Tolak Tapera
Simpang siur tentang pemungutan iuran Tapera, berbuntut aksi unjuk rasa yang digelar massa di Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Kamis (6/6/2024).
Massa yang berasal dari berbagai aliansi buruh ini, yang berkumpul sejak pagi, diantisipasi pengamanannya, oleh sekitar 1.416 personel Aparat Keamanan gabungan turunkan.
Aksi penolakan Tapera, menurut Kasi Humas Polres Metro Jakarta Pusat, Ipda Ruslan Basuki dalam keterangan tertulis, Kamis (6/6/2024), Kepolisian juga menyiapkan rekayasa pengalihan arus lalu lintas di sekitar kawasan Jalan Merdeka, yang pemberlakuannya bersifat situasional.
“Rekayasa lalulintas bersifat situasional melihat eskalasi di lapangan. Apabila jumlah massa dan eskalasi meningkatkan maka diadakan penutupan jalan, jika jumlah massa tidak banyak, lalin normal seperti biasa,” ujar dia.
Aksi ini digelar untuk menentang berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari pengenaan iuran Tapera hingga sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) dalam layanan BPJS Kesehatan.
Seperti diketahui, ribuan buruh yang melakukan aksi unjuk rasa berasal dari Jabodetabek dan berbagai organisasi serikat pekerja seperti KSPI, KSPSI, KPBI, dan juga Serikat Petani Indonesia (SPI).
Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, aksi dimulai pukul 10.00 dengan titik kumpul di depan Balaikota dan bergerak ke Istana melalui kawasan Patung Kuda.
Alasan unjuk rasa kata Said Iqbal, kebijakan Tapera merugikan, dan membebani pekerja dengan iuran.
“Sebab meski setelah mencicil selama 10 hingga 20 tahun, buruh tetap saja tidak memberikan kepastian bisa memiliki rumah,” tegasnya.
Selain itu, dalam Tapera, Jokowi dan pembantunya dinilai lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah. Hal ini karena Pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran, tidak mengalokasikan dana dari APBN maupun APBD.
“Permasalahan lain adalah dana Tapera rawan dikorupsi, serta ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana,” imbuh dia.(*)