SAMARINDA: Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kalimantan Timur (Kaltim) kembali menjadi sorotan serius.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita, mengungkapkan jumlah laporan kekerasan masih tinggi dan cenderung meningkat.
“Ini menjadi pekerjaan bukan hanya pemerintah, tapi juga tanggung jawab seluruh anggota masyarakat untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan,” tegas Noryani saat membuka Rapat Kerja Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, di Hotel Puri Senyiur, Rabu, 24 September 2025.
Berdasarkan laporan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 2024 tercatat 1.002 kasus kekerasan di Kaltim, turun tipis dari tahun sebelumnya sebanyak 1.108 kasus. Namun, pada 2025 tren kembali mengkhawatirkan.
Hingga 31 Agustus 2025, jumlah kasus sudah mencapai 916 kasus atau rata-rata 114 kasus per bulan-setara tiga hingga empat kasus setiap hari.
Korban tercatat sebanyak 986 orang, dengan rata-rata 123 korban per bulan.
Dari jumlah tersebut, 40 persen merupakan perempuan dewasa dan 60 persen adalah anak-anak. Noryani menambahkan, sebagian besar kasus terjadi dalam lingkup rumah tangga.
“Sekitar 70 persen pelaku adalah orang yang dikenal korban. Dari 16 kasus, 15 di antaranya dilakukan orang dekat, hanya satu yang pelakunya orang asing,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Noryani juga menyinggung kasus memilukan yang baru saja ditangani Tim Reaksi Cepat (TRC) PPA Kaltim, yaitu penjualan anak berusia 10 tahun yang berlangsung selama tiga tahun. Lebih ironis lagi, orang tua korban ikut terlibat sebagai pelaku.
“Ini sangat miris. Anak tidak berani speak up, sementara orang tuanya justru menjadi bagian dari kekerasan. Ini menandakan betapa pentingnya komunikasi dan rasa aman bagi anak,” katanya.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain, kasus kekerasan di Kaltim tergolong tinggi. Di Jawa Barat, dengan jumlah penduduk sekitar 50 juta jiwa, terdapat sekitar 5.000 kasus kekerasan. Sedangkan di Kaltim dengan penduduk hanya 4,2 juta, jumlah kasus mencapai 1.000 lebih setiap tahunnya.
“Secara rasio, kasus kekerasan di Kaltim jauh lebih besar. Faktor kompleksitas masyarakat, migrasi, serta keberadaan Ibu Kota Nusantara (IKN) membuat potensi masalah semakin beragam,” ujar Noryani.
Menurut Noryani, pencegahan tidak kalah penting dari penanganan. Karena itu, rapat kerja kali ini bertujuan menyusun rekomendasi kebijakan, baik untuk langkah pencegahan maupun penanganan kasus kekerasan.
“Pelaporan yang meningkat bukan berarti situasi makin buruk. Justru ini menunjukkan kesadaran masyarakat untuk speak up semakin tinggi. Kita harus apresiasi keberanian masyarakat melapor,” jelasnya.
DP3A Kaltim telah mendorong pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di kabupaten/kota.
Saat ini, dari 10 kabupaten/kota di Kaltim, sudah ada 8 daerah yang memiliki UPTD PPA. Dua daerah yang belum, yakni Kutai Barat (Kubar) dan Mahakam Ulu (Mahulu), terus didorong segera membentuk unit tersebut.
Noryani menegaskan, faktor ekonomi bukan satu-satunya penyebab kekerasan. Media sosial, budaya patriarki, hingga lemahnya komunikasi keluarga turut berperan besar.
Ia juga menyinggung perubahan paradigma hukum melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang mencakup 9 jenis tindak pidana dan 10 bentuk kekerasan. Beberapa praktik yang dulu dianggap “biasa” kini termasuk kekerasan, seperti pemaksaan pernikahan, pemaksaan penggunaan kontrasepsi, hingga perjodohan paksa.
“Ancaman pidana dalam UU ini sangat tegas, bahkan disertai sanksi denda. Karena itu, masyarakat perlu tahu hak-hak mereka,” ujarnya.
Noryani mengajak seluruh elemen masyarakat untuk membangun jejaring dan komunitas peduli pencegahan kekerasan.
“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Tugas pengawasan dan perlindungan harus melibatkan keluarga, tetangga, dan masyarakat luas. Dengan kesadaran bersama, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak,” tegasnya.
