
SAMARINDA: Dugaan praktik korupsi mencuat dari aktivitas terminal ship to ship (STS) di perairan Muara Berau dan Muara Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Asosiasi Perusahaan Tambang PT Pelabuhan Tiga Bersaudara (APT–PTB) dituding melakukan pungutan liar (pungli) tanpa dasar hukum terhadap aktivitas bongkar muat batu bara antarkapal, dengan potensi kerugian negara dan daerah yang ditaksir mencapai Rp5,04 triliun.
APT-PTB diduga memungut biaya sebesar USD 0,8 per metrik ton batu bara dari setiap kegiatan pemindahan muatan di area tersebut.
Aktivitas ini telah berlangsung cukup lama meskipun tanpa kejelasan dasar legal yang sah.
Akibatnya, masyarakat pesisir yang merasa dirugikan akhirnya menggugat kegiatan tersebut ke Pengadilan Negeri Tenggarong.
Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Husni Fahruddin, membenarkan adanya gugatan yang diajukan oleh masyarakat pesisir.
Gugatan tersebut merupakan bentuk protes karena masyarakat merasa diabaikan dan dirugikan oleh aktivitas perusahaan.
“Masyarakat pesisir itu kemudian menggugat kita. Gugatannya di PN Tenggarong. Padahal kita sudah sempat mengakomodir dan mengajak RDP (Rapat Dengar Pendapat) untuk menyelesaikan persoalan ini,” ujar Husni pada Senin, 26 Mei 2025.
Namun, lanjut Husni, seiring proses bergulir, muncul pula laporan-laporan terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan tersebut.
DPRD menilai kasus ini bukan hanya berdampak hukum, tetapi juga menyangkut potensi kerugian fiskal daerah.
“Kalau senilai itu (Rp5,04 triliun), tentu saja sudah merugikan keuangan daerah. Bukan hanya keuangan negara,” tegas politisi Partai Golkar tersebut.
Merespons serius situasi ini, DPRD Kaltim akan segera memanggil manajemen APT–PTB dalam waktu dekat.
Pemanggilan akan dilakukan oleh komisi terkait, dengan menghadirkan pula perwakilan masyarakat pesisir sebagai pihak yang menggugat.
Agenda pemanggilan akan mencakup dua hal pokok, yakni klarifikasi atas gugatan masyarakat dan investigasi terhadap dugaan tindak pidana korupsi dalam kegiatan STS.
“Ini penting karena ada kerugian besar yang harus dipertanggungjawabkan. Apalagi, ini berkaitan dengan wilayah zonasi provinsi,” tutup Husni.