
SAMARINDA: Sekretaris Komisi I DPRD Kalimantan Timur, Salehuddin, mendorong Kepolisian untuk menangani kasus penembakan terhadap tokoh adat di Paser secara profesional dan transparan.
Pernyataan ini menyusul penetapan MT alias Misrantoni (53) sebagai tersangka dalam kasus tewasnya Russel (60), tokoh adat Dusun Muara Kate, Desa Muara Langon, Kabupaten Paser, pada 15 November 2024 lalu.
“Penetapan tersangka adalah langkah tegas dan komitmen nyata terhadap perlindungan publik, tapi kita tetap butuh bukti yang terbuka dan transparan agar masyarakat tidak berspekulasi,” ujar Salehuddin.
Peristiwa tragis itu terjadi di posko warga yang saat itu tengah menolak aktivitas hauling batu bara. Korban tewas seketika akibat luka tembak, yang memicu gejolak sosial di masyarakat setempat.
MT kini dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana. Barang bukti yang telah diamankan mencakup senjata rakitan, pakaian korban, alat komunikasi, dokumen visum, serta keterangan sejumlah saksi.
Kabid Humas Polda Kaltim, Kombes Yulianto, memastikan bahwa penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik memperoleh bukti permulaan yang cukup. “Kami pastikan proses hukum akan berjalan sesuai prosedur,” tegasnya dalam pernyataan tertulis.
Meski demikian, sebagian masyarakat menyoroti latar belakang MT yang disebut pernah aktif bersama korban dalam aktivitas penolakan tambang. Motif penembakan dan kemungkinan keterlibatan pihak lain pun menjadi perhatian publik dan pemerhati hukum.
Merespons hal itu, Salehuddin menyampaikan bahwa DPRD Kaltim akan mengawal proses hukum kasus tersebut hingga tuntas. Ia juga membuka kemungkinan pelibatan lembaga independen demi menjamin objektivitas penanganan perkara.
“Kalau dibutuhkan, kami siap mendorong pelibatan Kompolnas atau Mabes Polri agar pengusutan kasus ini benar-benar obyektif dan tidak menyisakan keraguan,” tambahnya.
Menurut dia, kasus ini bukan hanya tentang keadilan bagi korban dan keluarganya, tetapi juga menyangkut kepercayaan publik terhadap institusi hukum dan perlindungan negara terhadap masyarakat di wilayah rentan konflik sumber daya.
“Ini bukan sekadar satu kasus kriminal. Ini soal keadilan publik dan hak warga negara untuk merasa aman. Jangan sampai ada anggapan bahwa kekerasan terhadap warga bisa diselesaikan secara diam-diam,” tegas Salehuddin.
Ia berharap, penanganan kasus ini dapat menjadi momentum untuk memperbaiki mekanisme pengamanan konflik sumber daya alam serta memperkuat perlindungan hukum bagi masyarakat adat dan lingkungan hidup.