
SAMARINDA: Berdasarkan data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kalimantan Timur, sebanyak 16.000 anak di provinsi ini tercatat putus sekolah sepanjang tahun 2024. Angka tersebut menyoroti persoalan serius dalam akses dan pemerataan pendidikan, terutama di jenjang menengah dan tinggi.
Anggota DPRD Kaltim dari Fraksi PAN–NasDem, Darlis Pattalongi, menyebut bahwa tingginya angka putus sekolah tidak hanya disebabkan oleh biaya kuliah, tetapi juga oleh beban biaya hidup (living cost) seperti transportasi, akomodasi, dan kebutuhan dasar lainnya yang kerap tidak terjangkau oleh keluarga siswa.
“Salah satu target kita adalah meningkatkan rata-rata lama sekolah. Maka dari itu, program Gratispol dirancang bukan hanya membayar UKT, tapi juga didukung seragam, buku, dan bantuan lainnya dari Pemprov,” ujar Darlis Selasa 17 Juni 2025.
Rata-rata lama sekolah di Kalimantan Timur masih berada di angka 10 tahun, setara dengan kelas 1 SMA. Darlis menilai capaian tersebut belum ideal bagi provinsi yang tengah bersiap menjadi pusat pertumbuhan baru di Indonesia, terutama dengan hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Provinsi Kaltim melalui program Gratispol yang membebaskan UKT bagi mahasiswa Kaltim. Namun menurutnya, program tersebut perlu dilengkapi dengan dukungan dari sektor swasta, khususnya melalui skema Corporate Social Responsibility (CSR).
“Banyak perusahaan menyalurkan CSR dalam bentuk beasiswa. Tapi kami minta jangan tumpang tindih dengan UKT yang sudah dibiayai APBD. Perusahaan lebih baik berpartisipasi dalam bentuk bantuan living cost seperti transportasi atau akomodasi,” tegasnya.
Darlis menjelaskan bahwa kondisi geografis dan sosial di Kaltim berbeda dengan wilayah lain di Indonesia. Ia menyebut pertumbuhan penduduk di Kaltim sebesar 2,8 persen tidak didorong oleh kelahiran, melainkan oleh arus migrasi yang tinggi.
“Orang datang ke Kaltim dengan segala masalahnya. Itu menyebabkan angka pendidikan sulit stabil. Tiap saat bisa berubah. Ini tantangan daerah berkembang karena migrasi,” katanya.
Sebagai anggota Komisi IV dan Badan Anggaran DPRD Kaltim, Darlis juga menekankan bahwa pembangunan pendidikan harus dilakukan secara holistik. Ia menegaskan bahwa aspek kualitas tenaga pengajar dan infrastruktur pendidikan juga harus menjadi prioritas.
“Kami khawatir pembiayaan sudah berjalan, tapi kualitas guru, dosen, dan fasilitas tidak diperhatikan. Ini harus dikawal agar tujuan utamanya, yaitu peningkatan kualitas pendidikan, tidak buyar,” ujarnya.
Darlis menyatakan optimisme bahwa angka putus sekolah di Kaltim bisa ditekan dan rata-rata lama sekolah dapat ditingkatkan dalam lima tahun ke depan, asalkan kebijakan pendidikan dirancang secara terintegrasi antara pembiayaan, kualitas SDM pengajar, dan partisipasi dunia usaha.
“Kalau semua berjalan beriringan, kita bisa mengurangi jumlah anak putus sekolah secara signifikan. Dan pendidikan kita tidak hanya gratis, tapi juga berkualitas,” tutupnya.

 
		 
