
SAMARINDA: Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Guntur, menilai kebijakan pertanian yang terlalu tersentral di pemerintah pusat menjadi hambatan serius bagi keberhasilan swasembada pangan di daerah.
Legislator dari Dapil Kutai Kartanegara itu menegaskan, kebutuhan pertanian tidak bisa disamaratakan secara nasional karena kondisi geografis dan karakter tanah di tiap daerah berbeda-beda.
“Pusat salah membuat kebijakan, semuanya disamaratakan. Padahal kita punya lebih dari 7.000 pulau dengan karakter tanah yang berbeda-beda,” ujar Guntur, Rabu, 9 Juli 2025.
Guntur menyebut bahwa Kalimantan Timur memiliki tantangan regenerasi petani karena sebagian besar pelaku pertanian saat ini adalah generasi tua.
Jika pemerintah pusat terus mengambil alih kebijakan pertanian, termasuk alat dan mesin pertanian (alsintan) serta pupuk, ia khawatir minat generasi muda terhadap sektor pertanian semakin menurun.
“Di Kaltim ini, 70 persen petani kita itu sudah tua. Kalau kebutuhan mereka terus diabaikan, bagaimana kita mau dorong regenerasi petani? Anak-anak muda pasti mundur kalau terus-terusan gagal karena alat dan pupuknya tidak sesuai,” tegasnya.
Sebagai petani semangka aktif di wilayah Menamang, Guntur merasakan langsung bagaimana ketidaksesuaian bantuan alat dan bahan pertanian dari pusat seringkali membuat petani kesulitan. Ia menyebut beberapa bantuan alsintan yang dikirim tidak sesuai dengan kondisi lapangan.
“Bantuan hand traktor misalnya, dikasih ke kelompok tani yang sebenarnya sudah punya. Padahal, mereka butuhnya alat lain. Akhirnya mubazir,” ujarnya.
Guntur menekankan bahwa pemetaan kebutuhan petani harus dilakukan langsung oleh pemerintah daerah yang lebih memahami kondisi di lapangan. Menurutnya, bahkan dalam satu kabupaten saja, kebutuhan petani bisa berbeda-beda antar kecamatan atau desa.
“Pertanyaan saya, pemerintah pusat bisa enggak turun langsung ke desa-desa itu untuk tahu kebutuhan petani kita? Saya rasa tidak akan mampu,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa proses penganggaran melalui APBD bersifat tahunan dan belum tentu bisa menyesuaikan secara cepat dengan dinamika kebutuhan di lapangan.
“APBD itu setahun sekali. Tahun ini diajukan, belum tentu tahun depan kebutuhannya masih sama. Maka, kalau mau swasembada pangan, pusat harus percaya pada daerah,” tambahnya.
Dengan kondisi saat ini, Guntur pesimistis kebijakan pertanian nasional bisa berjalan optimal jika seluruh kewenangan tetap berada di tangan pusat. Ia bahkan menyebut setidaknya separuh program tidak akan terealisasi.
“Kalau alsintan dan pupuk terus diambil alih pusat, saya yakin dan berani katakan 50 persen tidak akan terlaksana. Yang tahu kebutuhan petani ya daerah, bukan pusat,” pungkasnya.