JAKARTA: Membangun sistem transportasi yang benar-benar terintegrasi antarmoda dan antarwilayah merupakan hal penting dan prioritas.
Upaya ini menjadi dorongan utama untuk meningkatkan efisiensi logistik, mengurangi emisi karbon, serta mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Integrasi Transportasi dan Multimoda (Ditjen Intram) Kementerian Perhubungan, Risal Wasal, dalam ajang Indonesia Railway Conference 2025 yang digelar di JIExpo Kemayoran, Selasa, 29 Juli 2025.
Risal mengungkapkan bahwa Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan di sektor transportasi, mulai dari kemacetan parah, tingginya biaya logistik, hingga dominasi transportasi berbasis jalan.
“Solusinya adalah membangun sistem transportasi yang benar-benar terintegrasi antarmoda dan antarwilayah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa transportasi bukan semata persoalan infrastruktur, melainkan mencakup sistem dan pelayanan yang saling terhubung.
“Kita perlu mengubah cara pandang. Transportasi bukan hanya membangun jalan atau rel, tetapi bagaimana semua moda saling mendukung, tiket bisa diakses dalam satu sistem, dan pengguna berpindah moda tanpa hambatan. Inilah wajah transportasi modern yang sedang kita bangun,” tegasnya.
Dalam paparannya, Risal memaparkan bahwa tingginya penggunaan kendaraan pribadi, yakni 140 juta sepeda motor dan 20 juta mobil, menyebabkan kemacetan serta emisi karbon yang tinggi, terutama di kawasan perkotaan.
Di wilayah Jabodetabek saja, emisi karbon dari sektor transportasi mencapai 270 kilogram per hari, atau sekitar 79 persen dari total emisi kawasan tersebut.
Di sisi lain, biaya logistik Indonesia tercatat sebesar 14,29 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Kondisi ini diperburuk oleh rendahnya skor Logistics Performance Index Indonesia yang hanya mencapai 3,0, masih tertinggal dari Singapura (4,3), Malaysia (3,6), dan Vietnam (3,3).
Risal menegaskan bahwa integrasi infrastruktur dan layanan transportasi antarmoda harus menjadi prioritas nasional.
“Transportasi yang terhubung dan efisien bukan hanya memudahkan mobilitas masyarakat, tetapi juga berdampak langsung pada produktivitas, pemerataan pembangunan, dan daya saing logistik nasional,” tambahnya.
Beberapa contoh nyata keberhasilan integrasi yang telah diterapkan antara lain kawasan Transit Oriented Development (TOD) Dukuh Atas dan Stasiun Halim KCJB, yang menghubungkan kereta cepat, LRT, TransJakarta, layanan taksi daring, serta jalur pejalan kaki.
Di Dukuh Atas, lanjut Risal, integrasi ini bahkan telah meningkatkan nilai properti hingga 50 persen dan menghidupkan kembali kawasan bisnis setempat.
Sebagai langkah strategis, Ditjen Intram telah menyusun roadmap integrasi antarmoda dan multimoda 2025-2029. Rencana ini mencakup pengembangan simpul-simpul transportasi, seperti pelabuhan, stasiun, terminal, bandara, serta kawasan strategis nasional di seluruh wilayah Indonesia, dari Sumatera hingga Papua.
Ke depan, Ditjen Intram juga mendorong penerapan konsep Mobility as a Service (MaaS), yakni sistem mobilitas digital yang mengintegrasikan berbagai moda transportasi dalam satu platform layanan.
“Konsep MaaS memungkinkan masyarakat berpindah moda dengan mudah dan efisien, sehingga mereka tidak lagi tergantung pada kendaraan pribadi,” jelasnya.
Menutup paparannya, Risal mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat dan daerah, operator transportasi, pelaku usaha, maupun masyarakat, untuk bersinergi mewujudkan ekosistem transportasi yang terintegrasi, berkelanjutan, dan inklusif.
“Transportasi terintegrasi bukan hanya soal konektivitas, tetapi tentang menghadirkan keadilan mobilitas bagi seluruh warga Indonesia,” pungkasnya.