
SAMARINDA: Dorongan untuk membentuk Kabupaten Kutai Utara kembali mencuat akhir-akhir ini.
Aspirasi yang telah lama disuarakan masyarakat pedalaman Kutai Timur (Kutim) ini dianggap sebagai respons atas ketimpangan pembangunan dan minimnya akses pelayanan dasar di wilayah-wilayah terpencil.
Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agus Aras, menegaskan bahwa wacana pemekaran ini bukanlah gagasan baru.
Menurutnya, desakan ini merupakan perjuangan panjang warga yang selama ini merasa termarjinalkan dari arus pembangunan di Kutim.
“Ini bukan keinginan yang tiba-tiba muncul. Sudah bertahun-tahun masyarakat di pedalaman menyuarakan aspirasi agar bisa memekarkan diri. Mereka ingin akses pelayanan dan pembangunan yang lebih merata,” ujar Agus.
Ia menyoroti bahwa ketimpangan pelayanan publik, infrastruktur jalan, dan fasilitas kesehatan menjadi pemicu utama.
Banyak warga di kecamatan seperti Muara Wahau dan Busang harus menempuh perjalanan panjang dan sulit hanya untuk mengurus dokumen kependudukan atau mendapat layanan kesehatan dasar.
Agus menegaskan bahwa dorongan ini bukan dilatarbelakangi oleh ambisi politik atau kekuasaan, melainkan sebagai upaya untuk mendorong pemerataan pembangunan.
Masyarakat, kata dia, ingin memiliki akses yang setara terhadap hak-hak dasar sebagai warga negara.
“Pemekaran ini bukan soal kursi kekuasaan, tapi soal keadilan pembangunan. Banyak warga yang merasa hidup mereka tak tersentuh program-program pemerintah karena terlalu jauh dari pusat pemerintahan kabupaten,” tambahnya.
Dari sisi administratif, Agus menyebut ada delapan kecamatan yang telah diusulkan untuk menjadi bagian dari calon daerah otonomi baru (DOB) Kutai Utara.
Wilayah tersebut meliputi Kongbeng, Muara Wahau, Telen, Batu Ampar, Busang, Long Mesangat, Muara Ancalong, dan Muara Bengkal.
Ia menambahkan bahwa DPRD Kaltim mendukung aspirasi tersebut, namun realisasi pemekaran tetap bergantung pada evaluasi dan persetujuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
“Kami di DPRD hanya bisa memperjuangkan dan menyuarakan aspirasi masyarakat. Yang menentukan layak atau tidaknya pembentukan daerah otonomi baru adalah Kemendagri,” jelas politisi dari daerah pemilihan Kutai Timur itu.
Namun demikian, Agus mengingatkan bahwa proses pemekaran daerah tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa.
Ia menekankan pentingnya kajian komprehensif dari berbagai aspek, termasuk kesiapan fiskal, kelembagaan, dan potensi sumber daya lokal.
“Semua aspek harus dipertimbangkan secara matang. Pemekaran harus menjadi solusi yang mempercepat pembangunan, bukan justru memunculkan masalah baru,” tandasnya.
Wacana pembentukan Kabupaten Kutai Utara sendiri telah mengemuka sejak lebih dari satu dekade lalu.
Namun hingga kini belum mendapatkan lampu hijau dari pemerintah pusat, terlebih dengan moratorium pemekaran wilayah yang masih berlaku.
