SAMARINDA: Ratusan tenaga honorer di lingkungan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim), terancam kehilangan pekerjaan karena tidak masuk dalam database afirmasi PPPK menjelang penghapusan tenaga honorer pada 2026.

Persoalan ini kembali mencuat dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Kaltim, Jumat 26 September 2025 saat perwakilan tenaga non-ASN menyampaikan keresahan mereka dan meminta kebijakan khusus agar tetap terakomodir.
Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin, menyebut hasil koordinasi menemukan sekitar 606 tenaga non-ASN yang tidak tercatat dalam database PPPK.
Mereka tersebar di berbagai OPD, meski jumlah itu belum final karena masih ada berkas yang belum terinput.
Bahkan, Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kaltim belum memegang data lengkap lantaran mekanisme usulan kembali diserahkan pada kebijakan kepala OPD masing-masing.
“Masalah ini bukan hanya di Kaltim, di daerah lain juga ada kasus serupa. Karena itu, kita akan kawal agar ada regulasi baru yang memberi ruang mereka tetap bisa masuk database PPPK,” jelasnya.
Namun, ada daerah yang mampu memperjuangkan agar tenaga non-ASN mereka masuk kembali ke database.
Karena itu, DPRD Kaltim menekankan perlunya perjuangan kolektif dan langkah politik bersama hingga ke Kementerian PANRB.
Ia menegaskan DPRD akan mendampingi langsung perwakilan tenaga non-ASN ke pusat agar ada regulasi baru yang memberi ruang keadilan.
Salehuddin menyebut, Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim sudah menyatakan komitmen untuk menyelesaikan persoalan ini.
Dengan belanja pegawai yang masih di bawah 18 persen, ruang fiskal pemprov dinilai cukup terbuka untuk mengakomodir mereka.
“Kalau bicara pembiayaan, provinsi mampu. Masalahnya ada di goodwill kepala OPD. Ada OPD yang suportif, ada juga yang abai. Bahkan ada tenaga non-ASN bekerja lebih dari 10 tahun, tapi justru dikeluarkan dari formasi database. Ini butuh keadilan,” tegasnya.
Ia menambahkan, setidaknya ada dua hal yang harus dijamin selama masa transisi menuju 2026, yaitu tidak boleh ada pemutusan kerja sepihak dan harus ada mekanisme alih fungsi agar tenaga yang tidak masuk database tetap bisa bekerja di OPD.
DPRD, menurutnya, juga mendorong agar selama masa transisi tidak ada PHK sepihak dan status tenaga non-ASN tetap terlindungi tanpa degradasi martabat melalui sistem outsourcing.
Sejumlah perwakilan tenaga non-ASN menyampaikan keluhan. Andika dari UPTD KPHP Sub Das Belayan Kukar menilai ada kendala di level kepala OPD.
Ia mencontohkan Kalimantan Utara dan Kalimantan Selatan yang bisa mengakomodir tenaga non-ASN mereka.
“Kalau mereka bisa, kenapa Kaltim tidak? Mekanismenya sama, berarti ada masalah di OPD yang harus dievaluasi,” ujarnya.
Muhammad Efendi dari UPTD KPHP Meratus Kukar menambahkan, evaluasi seharusnya tidak hanya menyasar tenaga honorer.
“Jangan hanya kami yang dievaluasi. Kebijakan kepala dinas juga harus ditinjau. Sebagai kepala daerah, gubernur bisa memberikan kebijakan yang lebih berpihak,” katanya.
Prima Ikhlas Pambudi dari Dinas Kehutanan Kaltim mengeluhkan data mereka yang tak pernah diusulkan ke BKAD.
“Sejak awal sampai hari ini, kepala dinas tidak pernah memberi alasan jelas. Tahun ini jumlah kami berkurang lagi, dari 306 orang tinggal sekitar 240-an,” ungkapnya.
Komisi I DPRD Kaltim menegaskan langkah ke depan adalah konsolidasi dengan pemerintah provinsi dan mendampingi tenaga non-ASN bertemu langsung dengan Kemenpan RB.
Tujuannya untuk mencari celah regulasi agar mereka bisa masuk kembali dalam database PPPK.
“Kami tidak ingin ada tenaga yang sudah mengabdi belasan tahun, tiba-tiba terdegradasi jadi outsourcing. Itu tidak adil. Jalan ini memang tidak mudah, tapi perjuangan harus terus dikawal,” tutup Salehuddin.