SAMARINDA: Dinas Kesehatan (Dinkes) Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan makanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya aman dikonsumsi maksimal empat jam setelah diterima siswa.
Jika dibiarkan lebih lama, makanan berisiko terkontaminasi kuman dan menimbulkan masalah kesehatan.
Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin, mengatakan makanan berbahan basah atau berkuah lebih cepat rusak bila tidak segera disantap.
“Rata-rata makanan harus sudah habis dalam empat jam. Lebih dari itu sangat berisiko menimbulkan kuman atau bakteri,” ujarnya.
Ia mencontohkan kasus yang sempat terjadi di Samarinda ketika sejumlah siswa mengalami sakit perut setelah menunda makan siang MBG hingga usai Salat Jumat.
“Kondisi makanan sudah menurun kualitasnya, akhirnya tidak nyaman di lambung,” tambahnya.
Untuk menjamin keamanan, Dinkes rutin memberikan pelatihan kepada penjamah makanan mulai dari pemilihan bahan, proses memasak, hingga penyajian.
Setiap dapur penyedia juga wajib menyerahkan sampel makanan untuk diperiksa sebelum dibagikan kepada siswa.
“Kalau sampelnya aman, baru bisa dibagikan. Kalau ditemukan masalah, makanan langsung dilarang untuk dikonsumsi,” tegas Jaya.
Dinkes menugaskan puskesmas sebagai garda terdepan bila terjadi dugaan keracunan, dan pasien akan dirujuk ke rumah sakit apabila masuk kategori kejadian luar biasa (KLB).
Selain itu, laporan mingguan dari puskesmas terkait potensi KLB rutin diterima sebagai bentuk pengawasan.
Selain keracunan, potensi alergi pada bahan tertentu juga menjadi perhatian. “Kalau alergi sifatnya spesifik, misalnya kepiting atau seafood.
Tapi kalau basi, semua orang bisa terdampak,” jelasnya.
Pemerintah juga memastikan bahan makanan MBG berasal dari produk lokal seperti telur, sayuran, dan ikan gabus atau haruan.
Langkah ini dinilai tidak hanya menjamin gizi yang lebih baik bagi siswa, tetapi juga membantu menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar.
Dinkes bersama Dinas Pangan kini memperkuat rantai pasok agar distribusi lebih terkontrol, memenuhi standar sanitasi, serta mengurangi risiko kedaluwarsa dan kontaminasi.
“Intinya, keamanan pangan menjadi perhatian utama. Jangan sampai niat baik meningkatkan gizi anak justru terganggu karena kelalaian dalam penyajian makanan,” tutup Jaya.