KUKAR: Di bawah kepemimpinan Bupati Aulia Rahman Basri dan Wakil Bupati Rendi Solihin, birokrasi di lingkungan Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar), menghadirkan warna baru dalam tata kelola pemerintahan.
Keduanya menempuh jalur yang tidak lazim namun berakar kuat pada nilai moral: menautkan agama ke dalam denyut pemerintahan dan menjadikannya landasan etika dalam pelayanan publik.
Aulia tidak sedang berbicara tentang kegiatan seremonial keagamaan semata, melainkan tentang upaya sistematis membangun kesadaran moral yang menjadi fondasi perilaku aparatur sipil negara (ASN) dan tenaga Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K).
“Menurut kami, antara keagamaan dan pemerintahan ini bukan sesuatu yang dipisahkan, tapi dua hal yang harus saling mendukung satu sama lain,” ujar Aulia di Tenggarong, Jumat, 31 Oktober 2025.
Di bawah kepemimpinannya, Pemkab Kukar menempatkan pembinaan keagamaan sebagai program terukur yang dijalankan lintas level.
Setiap ASN dan tenaga P3K diwajibkan mengikuti pembinaan rohani sesuai dengan keyakinannya sebelum dilantik.
Bagi umat Islam, kegiatan dimulai dengan membaca Al-Qur’an, sementara bagi pemeluk Kristen, Katolik, Hindu, dan agama lainnya, diarahkan membaca kitab suci masing-masing.
Langkah ini merupakan bagian dari program Gerakan Etam Mengaji (GEMA), sebuah inisiatif yang pertama kali diperkenalkan oleh Bupati sebelumnya, Edi Damansyah, bersama Wakilnya, Rendi Solihin.
Namun di tangan Aulia Rahman, GEMA bukan sekadar diteruskan, melainkan diperdalam dan diberi ruh baru.
Ia mengangkat program ini dari ruang seremonial ke ruang pembinaan nilai, menegaskannya sebagai bagian dari sistem kerja birokrasi.
Setiap Jumat, kegiatan pembinaan rohani ini digelar di seluruh instansi pemerintahan.
Aparatur beragama Islam membaca Al-Qur’an, sementara pegawai dari agama lain menjalankan kegiatan spiritual sepadan sesuai ajarannya.
Aulia menegaskan bahwa keberagaman keyakinan tidak menjadi penghalang untuk bersama-sama menumbuhkan kesadaran moral dalam ruang birokrasi.
“Dalam beberapa kali kesempatan, bukan hanya untuk P3K, tapi juga bagi para pejabat di lingkungan pemerintah daerah. Sebelum dilantik, mereka harus bisa membaca kitab suci sesuai dengan agamanya masing-masing,” ujarnya lagi.
Pernyataan itu mencerminkan pandangan moral yang menempatkan jabatan sebagai amanah, bukan privilese.
Dalam banyak kesempatan, Aulia menegaskan bahwa setiap pemimpin publik, sekecil apa pun jabatannya, memegang tanggung jawab yang harus dipertanggungjawabkan bukan hanya di hadapan publik, tetapi juga di hadapan Tuhan.
Di balik gagasan ini, terdapat visi yang lebih luas tentang reformasi birokrasi.
Bagi Aulia Rahman, membenahi birokrasi bukan sekadar soal efisiensi atau penegakan aturan, melainkan soal membangun kesadaran etis.
Ia ingin agar ASN tidak hanya terampil dalam urusan administrasi, tetapi juga memiliki kompas moral yang kuat.
Dalam praktiknya, pembinaan keagamaan ini diharapkan membentuk karakter aparatur yang lebih berintegritas.
Pemerintah daerah ingin menumbuhkan pegawai yang bekerja dengan hati, menjaga martabat jabatannya, dan menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi.
Langkah tersebut mendapat perhatian publik karena jarang ada kepala daerah yang menempatkan nilai agama sebagai fondasi dalam tata kelola pemerintahan.
Di tengah arus modernisasi dan digitalisasi birokrasi, Aulia justru menegaskan pentingnya keseimbangan antara kemajuan material dan kekuatan spiritual.
Ia percaya, kemajuan tanpa moral hanya akan melahirkan birokrasi yang kering dan mekanistik, sedangkan religiusitas tanpa profesionalisme berpotensi mandek di tataran simbolik.
Pendekatan yang diusung Aulia Rahman tampak sebagai upaya menjembatani dua dunia yakni iman dan administrasi.
Pembinaan moral ASN di Kukar bukan hanya program peningkatan disiplin atau loyalitas, tetapi strategi kultural untuk menata ulang cara berpikir birokrasi.
Lebih jauh, langkah ini juga menjadi refleksi tentang hakikat pemerintahan itu sendiri. Bahwa pemerintahan yang baik tidak hanya bergantung pada sistem dan regulasi, tetapi juga pada kualitas batin orang-orang yang menjalankannya.
Dalam pandangan Aulia, birokrasi yang bermoral adalah birokrasi yang melayani, bukan sekadar mengatur; yang mengabdi, bukan mencari keuntungan.
Pendekatan moral ini juga mengingatkan pada akar tradisi pemerintahan Nusantara, ketika nilai-nilai religius menjadi panduan utama dalam menjalankan kekuasaan.
Dari kerajaan-kerajaan lama hingga masa awal republik, moralitas dan spiritualitas senantiasa menjadi inti dari kepemimpinan.
Kini, di tengah birokrasi modern yang sering kehilangan arah etik, Aulia dan Rendi berusaha menghidupkan kembali semangat itu di Kutai Kartanegara.
Pada akhirnya, gagasan menautkan agama ke dalam birokrasi bukanlah bentuk konservatisme, melainkan upaya menegakkan kembali keseimbangan.
“Kita berharap setiap aparatur di Kukar mampu menjalankan tugas dengan profesional sekaligus berlandaskan nilai moral,” kata Politikus PDI Perjuangan itu.
