
SAMARINDA: Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Agusriansyah Ridwan, menyoroti ketimpangan dalam pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025–2026.
Dalam rapat kerja bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim, ia menekankan perlunya kebijakan pendidikan yang mempertimbangkan kondisi di suatu wilayah.
“Dalam UUD 1945 dan Pasal 31 dalam UUD pendidikan dasar adalah amanah. Setiap warga negara usia sekolah berhak mendapatkan pendidikan. Dua poin substansi ini seharusnya menjadi dasar dalam merancang kebijakan SPMB,” ujar Agusriansyah, di Gedung E DPRD Kaltim, Selasa 10 Juni 2025.
Ia menilai, kendati data menunjukkan kapasitas rombongan belajar (rombel) di sejumlah wilayah seperti Kutai Timur, Berau, dan Bontang sebenarnya mencukupi jika dioptimalkan, tetap saja persoalan mendasar muncul. Salah satunya adalah jauhnya jarak tempuh siswa dari rumah ke sekolah, hingga ketidaksesuaian pilihan sekolah dengan minat siswa.
“Kalau kita optimalkan 40 siswa per rombel saja, sebenarnya bisa tertampung. Tapi persoalannya bukan hanya soal angka. Jarak yang jauh dan tidak sesuainya sekolah dengan keinginan siswa jadi masalah tersendiri,” ungkapnya.
Provinsi Kalimantan Timur mencatat total daya tampung murid baru untuk Tahun Ajaran 2025/2026 sebanyak 27.931 siswa SMA dalam 766 rombel, dan 22.412 siswa SMK dalam 637 rombel.
Samarinda menjadi kota dengan rombel terbanyak, yaitu 219 rombel, disusul Kutai Kartanegara dengan 211 rombel, dan Balikpapan 129 rombel. Kabupaten lain seperti Penajam Paser Utara (132 rombel), Kutai Timur (117 rombel), dan Berau (119 rombel) juga mencatat daya tampung yang cukup tinggi.
Beberapa wilayah seperti Mahakam Ulu dan Kutai Barat masih memiliki data rombel SMK yang belum lengkap.
Politisi PKS itu juga mengkritik ketimpangan sarana prasarana antarsekolah yang belum merata dan belum seluruhnya representatif. Ia menyebut, standar regulasi nasional tidak bisa diberlakukan sama rata di seluruh wilayah, khususnya untuk provinsi dengan sebaran geografis dan infrastruktur yang kompleks seperti Kalimantan Timur.
“Indikator pembuatan regulasi pendidikan pusat ini kan biasanya berbasis kota, di mana akses dan fasilitas sudah memadai. Tapi di Kaltim kondisinya tidak sama. Ini harus jadi bahan diskusi serius dengan Gubernur dan Wakil Gubernur untuk mengusulkan perlakuan khusus ke kementerian,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah daerah memiliki ruang untuk menyusun kebijakan sendiri melalui peraturan daerah atau petunjuk teknis berbasis kondisi lokal. Ia mendorong agar Disdikbud Kaltim mengkaji kemungkinan itu secara komprehensif.
“Kalau kita terus bergantung pada Permendiknas saja, kita mengabaikan ketidakadilan yang dirasakan peserta didik. Padahal pendidikan adalah amanat yang tidak boleh dilanggar oleh regulasi yang kaku dan diskriminatif,” tambahnya.
Ia pun mengusulkan agar DPRD menggunakan fungsi pengawasan dan legislasi untuk memastikan kebijakan SPMB mendatang lebih adil dan adaptif.
Sebagai solusi jangka pendek, ia menyarankan adanya integrasi lintas kementerian untuk mengatasi hambatan akses pendidikan, termasuk penyediaan moda transportasi bagi siswa di daerah terpencil serta percepatan standarisasi akreditasi sekolah.
“Misalnya, kalau rumah siswa berjarak 2 atau 3 kilometer dari sekolah, adakah kebijakan penyediaan bus sekolah? Ini harus jadi perhatian. Standarisasi sarana dan prasarana juga harus dipercepat,” ujarnya.
Agusriansyah menutup pernyataannya dengan komitmen untuk terus mengawal isu pendidikan sebagai bagian dari tanggung jawab konstitusional.
“Ini juga topik yang saya angkat dalam disertasi saya. Kami di DPRD siap berpikir dan mencari jalan keluar bersama,” pungkasnya.
