SAMARINDA: Setelah Polresta Samarinda menetapkan empat mahasiswa Universitas Mulawarman (Unmul) sebagai tersangka kasus perakitan 27 bom molotov, respons muncul dari berbagai pihak.
Jenderal Lapangan (Jenlap) Aliansi Mahakam, Renaldi Saputra, menegaskan bahwa tuduhan kepolisian tidak pernah muncul dalam konsolidasi aksi.
“Tidak ada dalam konsolidasi soal bom molotov. Kalau aparat menyebut ada mahasiswa yang meracik, maka harus dibuktikan dengan jelas. Narasi itu jangan hanya dibangun sepihak, harus ada bukti yang kuat,” katanya, Kamis, 4 September 2025.
Renaldi menjelaskan, hasil rapat teknis lapangan aksi menegaskan bahwa massa tidak diperbolehkan menggunakan kekerasan maupun membawa benda berbahaya.
“Kesepakatan kami sudah jelas. Tidak ada niat, bahkan tidak ada usaha membuat hal-hal di luar konsolidasi. Kalau perlu, hasil konsolidasinya bisa kami tunjukkan. Bahkan ada rilis resmi yang sudah kami buat,” ujarnya.
Ia menambahkan, jika benar ada upaya membawa atau melempar bom molotov saat aksi, maka pihaknya siap menarik diri dari gerakan.
“Tidak ada sama sekali persiapan seperti itu. Kalau pun ada tindakan yang keluar dari kesepakatan, maka otomatis itu di luar konsolidasi dan kami mundur,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Minggu, 31 Agustus 2025 malam, tepat sehari sebelum aksi demo 1 September di DPRD Kaltim, polisi menggerebek sekretariat Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Unmul di Jalan Banggeris, Samarinda.
Dari lokasi itu, polisi menemukan 27 bom molotov siap pakai beserta bahan bakunya.
Sebanyak 22 mahasiswa diamankan, namun setelah pemeriksaan, 18 orang dipulangkan ke pihak kampus, sedangkan 4 mahasiswa resmi ditetapkan sebagai tersangka, sebagaimana hasil konferensi pers di Polresta Samarinda, Rabu, 3 September 2025.
Keempatnya adalah mahasiswa Prodi Sejarah FKIP Unmul, masing-masing F, MH alias R, MAG alias A, dan AR alias R.
Mereka diduga memiliki peran berbeda dalam merakit hingga menyembunyikan bom molotov.
Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar, menyebut para tersangka dijerat dengan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan pasal berlapis KUHP dengan ancaman hingga 12 tahun penjara.
Polisi juga masih memburu dua aktor intelektual yang diduga memasok bahan baku dan menginisiasi perakitan.
Ketua BEM KM Unmul, M. Ilham Maulana, menyatakan mahasiswa yang kini menjadi tersangka adalah kader himpunan prodi, bukan pengurus BEM.
Meski begitu, pihaknya tetap menyampaikan solidaritas dan akan mengawal kasus ini.
“Saya yakin mereka orang baik. Mereka kader angkatan 2022-2023, aktif di himpunan, tapi bukan pengurus BEM. Posisi saya saat kejadian ada di posko. Saya dapat kabar kalau mereka sudah dibawa polisi,” katanya.
Ia menegaskan, BEM Unmul menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa. Lebih dari itu pihak Unmul juga berkomitmen memberikan bantuan hukum lewat Fakultas Hukum Unmul dan LBH Samarinda untuk berupaya melakukan penangguhan penahan.
“Kami junjung asas praduga tak bersalah. Tapi kami juga menolak jika ada upaya membangun narasi kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa. Proses hukum silakan berjalan, tapi jangan ada penggiringan opini yang merugikan,” tegas Ilham.