

SAMARINDA : Persoalan tambang ilegal di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Lempake milik Universitas Mulawarman (Unmul) di bawah pengelolaan Fakultas Kehutanan tidak hanya memicu kemarahan banyak pihak.
Ada sisi lain yang disoroti oleh anggota Komisi III DPRD Kota Samarinda Abdul Rohim dalam kasus ini. Dalam pandangannya, UU Minerba memiliki indikasi menghilangkan amanat reformasi terkait desentralisasi dan otonomi daerah
“Jadi sekarang ini didengungkan desentralisasi, tapi faktanya itu cuma kaya kemasan. Substansinya banyak hal sudah kembali sentralistik,” kritiknya di Samarinda, Jumat, 11 April 2025.
Rohim menyatakan, apabila permasalahan KHDTK ini nantinya sudah selesai, ia ingin mengajak DPRD Samarinda, DPRD Kaltim, pemkot dan pemprov berdiskusi untuk mengulas kembali UU Minerba.
“Karena kewenangannya ditarik ke pusat, maka banyak hal yang membatasi kita untuk bereaksi terhadap tindak perusakan lingkungan dari aktivitas tambang,” tegasnya.
Ia merasa ada birokrasi yang ribet dengan peraturan kewenangan tambang di pusat. Seperti pusat yang mendapat manisnya dan daerah penghasil yang mendapat getahnya berupa kerusakan alam.
Ia mengungkapkan, pemerintah daerah termasuk DPRD Kota Samarinda tidak bisa datang meminta pertanggungjawaban perusahaan tambang atas kerusakan alam yang terjadi hingga menimbulkan dampak banjir.
“Kadang kita kalau datang, pemda tanda kutip kaya dicuekin karena mereka ngerti yang datang ini gak punya wewenang. Bisanya marah-marah, mencak-mencak tapi setelah itu gak bisa apa-apa karena kewenangan di pusat,” tuturnya.
Ia menegaskan, UU Minerba perlu di-review karena bagi hasil ke daerah masih kecil. Benefit lebih banyak ke pusat, sementara daerah yang merasakan dampak besarnya.
“Dulu ada sebuah badan yang memiliki bidang secara khusus nomenklakturnya menyebut soal desentralisasi. Tapi, saya dengar dari kawan yang ada di sana, hilang sudah nomenklaktur soal otonomi daerah,” sebutnya.