SAMARINDA: Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Kalimantan Timur masih berada pada kisaran 83–84 persen, jauh dari target nasional yang mendekati 100 persen.
Hal ini menjadi sorotan utama dalam Seminar Pendidikan bertema “Transformasi Pendidikan yang Berkualitas di Kalimantan Timur” yang digelar Dewan Pendidikan Kaltim selama tiga hari, 3–5 Juli 2025, di Gedung Guru Samarinda.
Kepala Bidang Pembinaan SMK Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kaltim, Surasa, yang hadir mewakili Plt. Kepala Disdikbud Armin, menyampaikan bahwa peningkatan APS tidak cukup hanya melalui pendekatan administratif atau pembangunan fisik.
“Undang-undang menargetkan APS mendekati 100%. Namun, saat ini di Kalimantan Timur baru mencapai sekitar 83–84%. Ini menjadi tantangan besar kita bersama: bagaimana mendorong angka partisipasi supaya mendekati target nasional,” tegas Surasa saat membuka kegiatan.
Surasa menekankan bahwa tantangan APS sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sosial, ekonomi, budaya, hingga geografis. Ia mengungkap realita di lapangan yang menunjukkan bahwa banyak anak-anak usia sekolah di daerah terpencil tidak melanjutkan pendidikan karena harus membantu keluarga.
“Di Delta Mahakam, misalnya, anak-anak lulusan SMP harus membantu orang tua mencari ikan. Mereka menjadi tulang punggung keluarga dan tinggal di pulau-pulau tanpa listrik. Ketika ditanya, mereka berkata, ‘Kalau saya sekolah, siapa yang mencari makan untuk adik-adik saya?’” ungkapnya.
Ia juga menyebutkan kondisi ekstrem lainnya, seperti anak-anak yang harus menempuh jarak 80 kilometer untuk mencapai sekolah. Sementara solusi membangun sekolah baru terkendala jumlah siswa yang minim, dan opsi asrama sering ditolak karena faktor sosial-budaya.
Surasa juga menyoroti persoalan kompetensi guru, khususnya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Menurutnya, masih banyak guru yang tidak sesuai latar belakang pendidikannya dengan bidang keahlian yang diajarkan.
“Ada guru Teknik Komputer Jaringan berlatar belakang sarjana agama. Semangatnya luar biasa, tapi dari sisi kompetensi formal tentu ini menjadi tantangan. Kita ingin SMK punya produk unggulan, tapi gurunya tidak punya latar belakang teknologi pengolahan pangan, misalnya,” katanya.
Tak hanya persoalan APS dan kompetensi, Surasa juga menyinggung pengaruh lingkungan sosial terhadap pembentukan karakter anak. Ia mencontohkan fenomena anak-anak SD yang menciumi helm ojek online karena dianggap aromanya enak.
“Itu helm jarang dicuci. Tapi karena gaya hidup orang dewasa di sekitar mereka, anak-anak menirunya. Artinya, karakter dibentuk dari lingkungan,” tegasnya.
Di kawasan tambang, Surasa menemukan pengaruh gaya hidup konsumtif para pekerja terhadap remaja di sekitar lokasi tambang. Ia menilai fenomena tersebut sebagai ancaman terhadap nilai-nilai pendidikan karakter.
Menurut Surasa, membangun pendidikan tidak bisa dilakukan oleh Disdikbud semata. Perlu sinergi nyata dari seluruh pemangku kepentingan.
“Membangun pendidikan bukan hanya soal mendirikan ruang kelas. Kita harus perhatikan aspek sosial, budaya, perilaku, dan karakter masyarakat. Perlu keterlibatan Dewan Pendidikan, kepala sekolah, komite, guru BK, dan orang tua,” tandasnya.
Ia berharap forum ini menghasilkan strategi aplikatif dan rekomendasi yang konkret bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
“Mari kita dorong transformasi pendidikan yang bukan hanya mengejar angka, tapi juga memperkuat karakter, meningkatkan mutu layanan, dan menjamin akses pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh anak-anak kita,” tutupnya. (Adv/diskominfokaltim)
Editor: Emmi

 
		 
