
KUTIM: Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kutai Timur (Kutim), mengeluarkan kebijakan baru, mewajibkan setiap pasangan yang akan menikah menjalani layanan konseling di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA).
Ketentuan ini diperkenalkan dalam kegiatan Sosialisasi Layanan Konseling bagi Pemohon Dispensasi Kawin Tahun 2025, yang digelar di Teras Belad, Sangatta, Selasa, 18 November 2025.
DPPPA Kutim mencatat sepanjang 2024 terdapat 109 kasus perkawinan anak.
Angka itu menempatkan Kutai Timur sebagai daerah dengan jumlah kasus tertinggi kedua di Kalimantan Timur.
Sejumlah faktor turut memengaruhi tingginya angka tersebut, mulai dari keterbatasan akses pendidikan, masalah ekonomi keluarga, hingga minimnya pemahaman masyarakat tentang dampak perkawinan dini.
Kepala DPPPA Kutim, Idham Cholid, menjelaskan bahwa berbagai kegiatan dan kebijakan tersebut merupakan bentuk tindak lanjut dari kerja sama dengan DPPPA Provinsi Kalimantan Timur untuk memperkuat koordinasi lintas sektor.
“Kami ingin memastikan seluruh pihak memiliki pemahaman yang seragam mengenai bahaya perkawinan anak. Harapan kami, angka kasus di Kutim bisa menurun tajam pada tahun 2026,” ungkap Idham.
Lebih jauh ia memaparkan bahwa DPPPA Kutim telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Pengadilan Agama serta Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI).
Dalam kesepakatan itu, setiap pengajuan dispensasi kawin harus melalui asesmen psikologis dan konseling terlebih dahulu, baik untuk calon pengantin maupun orang tua.
“Pendampingan ini bukan sekadar formalitas, tetapi upaya memastikan keluarga memahami risiko yang mungkin muncul ketika memaksakan perkawinan anak,” jelasnya.
Selain memperkuat aspek regulasi, DPPPA Kutim juga gencar memberikan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai kegiatan sosialisasi di seluruh wilayah.
Hingga Oktober 2025, tercatat 90 kasus perkawinan anak, dan pemerintah daerah berharap jumlah tersebut tidak kembali meningkat hingga akhir tahun. Ia berharap seluruh pihak dapat berperan aktif dalam upaya pencegahan ini.
Oleh sebab itu, kata Idham, kolaborasi dengan tokoh masyarakat, lembaga agama, dan pemangku kebijakan terus diperkuat untuk menekan potensi munculnya kasus baru. (Adv)

