SAMARINDA: Pertumbuhan ekonomi digital di Kalimantan Timur (Kaltim) terus menunjukkan tren positif.
Namun, Bank Indonesia (BI) mengingatkan masyarakat agar tetap waspada terhadap berbagai risiko yang menyertai, mulai dari phishing, penipuan berbasis Artificial Intelligence (AI), hingga maraknya kasus bukti transfer palsu yang belakangan kerap merugikan pelaku usaha.
Deputi Kepala Perwakilan BI Kaltim, Agus Taufik, menjelaskan bahwa perkembangan transaksi non-tunai di Kaltim tumbuh signifikan dalam lima tahun terakhir.
Salah satunya terlihat dari adopsi Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) yang melonjak hingga 213 ribu pengguna, atau lebih dari 20 persen dari total penduduk Kaltim.
Dari sisi nilai transaksi, QRIS di Kaltim bahkan mencatatkan volume hingga Rp5,92 triliun, dengan kontribusi mencapai 53 persen dari total transaksi digital di seluruh Kalimantan.
Angka tersebut menempatkan Kaltim sebagai penopang utama ekosistem digital di regional Kalimantan.
“Ini capaian besar yang menunjukkan masyarakat Kaltim semakin akrab dengan transaksi digital. Namun, di balik itu, ada tantangan besar yang harus kita hadapi bersama,” ujar Agus dalam Kaltim Digifest 2025, Jumat, 29 Agustus 2025.
Kendati demikian, Agus menyoroti perbedaan mencolok antara tingkat inklusi keuangan dan literasi keuangan di Indonesia.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), inklusi keuangan nasional sudah berada di angka 80,5 persen, sementara literasi keuangan masih 66,6 persen. Meski secara nasional angka tersebut sudah baik.
“Gap ini berbahaya. Artinya, masyarakat sudah terbiasa menggunakan layanan digital, tapi belum sepenuhnya memahami risiko dan cara mengelola transaksi dengan aman. Ini yang membuat mereka rentan menjadi korban penipuan,” jelasnya.
Salah satu kasus yang sempat marak di Kaltim adalah penipuan bukti transfer palsu. Pelaku hanya mengirimkan sebagian kecil uang dari nilai transaksi, lalu mengedit bukti transfer agar terlihat sesuai nominal yang diminta.
“Contoh, transaksi Rp1 juta, tapi yang ditransfer hanya Rp100 ribu. Bukti transfer diedit pakai AI, lalu ditunjukkan ke penjual. Padahal saldo masuk hanya Rp100 ribu. UMKM sering jadi korban karena tidak sempat mengecek mutasi rekening,” ungkap Agus.
Menurutnya, modus ini semakin canggih seiring berkembangnya teknologi manipulasi berbasis AI, sehingga pedagang maupun konsumen harus lebih teliti dalam setiap transaksi.
Untuk mengantisipasi risiko tersebut, BI bersama perbankan, akademisi, dan pemerintah daerah membentuk Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) sekaligus menggencarkan program edukasi literasi digital dan keuangan.
Melalui Gerakan Bersama Edukasi Perlindungan Konsumen (GEBER PK), hingga Juli 2025 tercatat 20.488 peserta di Kaltim telah mengikuti sosialisasi. Program ini menyasar pelajar, pelaku UMKM, ASN, hingga masyarakat umum.
“Pesan utama kami hati-hati. Jangan mudah tergoda dengan penawaran di media sosial, jangan buru-buru percaya dengan bukti transfer, dan biasakan cek mutasi rekening,” kata Agus.
Agus menilai, generasi muda Kaltim memiliki potensi besar dalam memperkuat ekosistem digital, karena tingkat adopsinya yang tinggi. Namun, tanpa literasi yang baik, peluang itu bisa berubah menjadi kerentanan.
“Digitalisasi pasti terus berkembang, tapi kesadaran konsumen juga harus meningkat. Harapannya forum ini bisa membuat masyarakat lebih hati-hati sekaligus percaya diri dalam memanfaatkan teknologi. Kalau kita bijak, digitalisasi akan benar-benar jadi motor pertumbuhan ekonomi,” pungkasnya.

 
		 
