JAKARTA : Dewan Pers, sebagai lembaga pengawas pers di Indonesia, telah menyatakan komitmennya untuk terus mengawal pembahasan rencana Peraturan Presiden (Perpres) terkait hak penerbit dan jurnalisme yang baik.
Rencana tersebut saat ini masih berada dalam tahap harmonisasi di tingkat Kementerian dan Lembaga pemerintah.
Dalam pertemuan dengan pimpinan konstituen Dewan Pers di Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menegaskan pentingnya memastikan bahwa isi rencana Perpres tersebut sejalan dengan semangat kemerdekaan pers yang diatur dalam UU 40/1999 tentang Pers.
Selain itu, Dewan Pers juga ingin memastikan adanya keadilan bagi pihak penerbit yang menghadapi platform digital global seperti Google, Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram.
Delapan dari sebelas konstituen Dewan Pers turut hadir dalam pertemuan tersebut, termasuk Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSIP), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Serikat Perusahaan Pers (SPS), Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI).
Ninik Rahayu, didampingi empat anggota Dewan Pers lainnya, menjelaskan bahwa draft rencana Perpres telah difinalisasi bulan lalu di Kementerian Polhukam.
Saat ini, draft tersebut sedang dibahas dalam tahap harmonisasi yang melibatkan Lembaga dan Kementerian terkait.
Meskipun awalnya Dewan Pers tidak dilibatkan dalam proses harmonisasi karena bukan merupakan lembaga pemerintah, namun kemudian mereka kembali dilibatkan karena draft tersebut berhubungan dengan kebebasan pers dan jurnalisme berkualitas.
Dalam pertemuan tersebut, Ninik juga menyampaikan kekhawatiran Dewan Pers terkait sejumlah isu setelah draft Perpres difinalisasi oleh Kementerian Polhukam dan kini dibahas dalam proses harmonisasi di Kementerian Lembaga.
Isu pertama adalah potensi hilangnya semangat kebebasan pers dalam draft tersebut karena UU 40/1999 tidak dimasukkan dalam bagian konsiderasi rencana Perpres.
Isu kedua adalah terkait aspek kelembagaan jika komite yang melaksanakan substansi Perpres tersebut diletakkan di bawah Presiden.
“Harus ada upaya membangun kondusivitas dari platform untuk ikut bertanggung jawab terhadap good journalism. Ini yang mereka (platform) paling keberatan,” kata Ninik.
Dewan Pers juga meminta pemerintah untuk mempercepat pembahasan Perpres ini, karena platform digital global seperti Google menggunakan lamanya proses pembahasan sebagai alasan untuk tidak membayar kewajibannya kepada perusahaan media.
Selain itu, Dewan Pers berharap agar Perpres ini tidak hanya mengatur perdagangan periklanan semata.
Arif Zulkifli, Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, juga menekankan pentingnya menjaga kebebasan pers dalam upaya menyelamatkan perusahaan pers dalam hal bisnis dengan platform.
Ia mengingatkan bahwa kebebasan pers di Indonesia saat ini cukup baik dan bebas dari intervensi politik langsung.
Ancaman saat ini adalah kemungkinan pemberitaan yang diatur oleh platform digital.
Informasi yang diperoleh redaksi menyatakan bahwa UU 40/1999 tentang Pers memang tidak dimasukkan ke dalam bagian “mengingat” dalam rencana Perpres tersebut.
Namun demikian, hal ini tidak berarti rencana Perpres mengabaikan kebebasan dan kemerdekaan pers.
Bagian “mengingat” dalam satu peraturan perundang-undangan memuat dasar hukum yang lebih tinggi yang memerintahkan pembentukan peraturan di bawahnya.
UU 40/1999 sendiri tidak memiliki klausul yang memerintahkan pembentukan aturan di bawahnya.
Perkembangan terakhir dalam proses harmonisasi rencana Perpres menempatkan komite pelaksana di bawah Dewan Pers, bukan di bawah Presiden.
Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut, menyatakan bahwa sikap JMSI sejalan dengan Dewan Pers dalam menjunjung semangat kebebasan dan kemerdekaan pers yang diatur dalam UU 40/1999.
Ia menekankan pentingnya UU tersebut dalam membangun good journalism. Teguh juga menjelaskan bahwa perusahaan pers membutuhkan partner ekonomi yang memadai, dan platform digital global hanya merupakan salah satu pihak yang dapat menjadi partner untuk mendukung keberlangsungan perusahaan.
JMSI juga sedang mengembangkan platform sendiri yang akan diluncurkan akhir bulan Juli dengan nama SemuaNews.
Platform tersebut akan menghimpun berita-berita dari perusahaan media siber anggota JMSI yang telah diverifikasi oleh Dewan Pers, sebagai upaya mendorong praktik good journalism.
Teguh menyoroti bahwa persoalan platform digital global bukanlah hanya persoalan Dewan Pers, tetapi juga merupakan persoalan bangsa dan negara.
Ia mencontohkan tindakan Republik Rakyat China (RRC) yang berhasil memaksa Google mengubah algoritma pencarian terkait peristiwa Tiananmen.
Teguh berpendapat bahwa persoalan ini lebih menyangkut kemandirian negara daripada perang antara Dewan Pers dan platform global.
Pembahasan rencana Perpres ini terus berlanjut dengan upaya menjaga kemerdekaan pers, memberikan keadilan bagi publisher, dan membangun kemitraan yang seimbang antara perusahaan pers dan platform digital global.
Dewan Pers dan konstituennya berkomitmen untuk terus memperjuangkan prinsip-prinsip tersebut agar media di Indonesia dapat berkembang secara berkelanjutan. (*)