SAMARINDA: Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur (Dinkes Kaltim) merilis perkembangan penanganan HIV/AIDS sepanjang 2025.
Berdasarkan data terbaru, terdapat 1.018 kasus HIV, 223 kasus AIDS, dan 112 kematian terkait penyakit tersebut yang terdeteksi di seluruh kabupaten dan kota di Kaltim.
Kepala Dinkes Kaltim, Jaya Mualimin, menjelaskan angka tersebut merupakan hasil temuan kasus melalui skrining dan layanan pemeriksaan, termasuk di fasilitas kesehatan tingkat dasar.
Ia menegaskan bahwa temuan kasus tidak selalu berarti infeksi baru pada tahun berjalan.
“Tidak semua yang ditemukan di tahun 2025 adalah kasus baru. Sebagian merupakan kasus yang baru terdiagnosis, sementara infeksinya mungkin sudah terjadi bertahun-tahun,” ujar Jaya saat diwawancarai sesuai acara Peringatan Hari AIDS Sedunia di Samarinda, Sabtu, 6 Desember 2025.
Jaya menyebut tiga wilayah menyumbang temuan kasus tertinggi, yaitu Kota Samarinda, Kota Balikpapan, dan Kabupaten Kutai Kartanegara, karena menjadi pusat rujukan layanan kesehatan dan memiliki populasi mobilitas tinggi.
Dinkes Kaltim memastikan akses pengobatan bagi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) tersedia secara luas. Saat ini, 272 fasilitas layanan PDP (Perawatan, Dukungan, dan Pengobatan) telah aktif, meliputi puskesmas, klinik swasta, praktik mandiri, hingga rumah sakit rujukan.
Seluruh fasilitas tersebut menyediakan layanan konsultasi, pendampingan, dan obat antiretroviral (ARV) secara gratis.
“Obat HIV tidak boleh dibeli. Semua diberikan gratis oleh pemerintah, tanpa memerlukan BPJS. Cukup datang ke fasilitas kesehatan, daftar, dan mengikuti pendampingan,” tegas Jaya.
Ia menjelaskan, ARV merupakan terapi utama untuk menekan perkembangan virus dalam tubuh agar tetap pada level aman, sehingga ODHA dapat hidup produktif dan minim risiko penularan kepada orang lain.
Jaya menegaskan bahwa penanganan HIV/AIDS dilakukan melalui pendekatan terpadu.
Salah satunya melalui program ATM (AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria) untuk menangani penyakit yang saling beririsan, terutama kasus HIV dan tuberkulosis.
Ia menambahkan, eliminasi stigma terhadap ODHA menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penanganan kasus.
“Yang sudah positif harus segera diobati, tidak boleh ada stigma, dan tidak boleh muncul infeksi baru. Itu tiga prinsip utama kita,” ujarnya.
Layanan skrining juga semakin diperluas, tidak hanya sukarela, tetapi masuk dalam pemeriksaan kelompok prioritas, seperti ibu hamil, calon pengantin, dan masyarakat berisiko tinggi.
Upaya ini dilakukan agar temuan kasus bisa lebih cepat dan pengobatan dapat dimulai sejak awal.
Dinkes Kaltim terus memperkuat edukasi pencegahan penularan HIV di masyarakat, terutama mengenai cara transmisi yang sebenarnya.
“HIV tidak menular lewat sentuhan, salaman, atau berbagi makanan. Penularan umumnya melalui darah dan cairan tubuh tertentu,” jelasnya.
Ia mengimbau masyarakat menghindari perilaku berisiko, seperti penggunaan jarum suntik bergantian dan hubungan seksual tidak aman.
Selain itu, perhatian khusus diberikan kepada ibu hamil positif HIV agar tidak menularkan virus ke bayi.
Pendampingan dilakukan secara intensif dengan terapi ARV.
Pemerintah mengajak komunitas, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang suportif sehingga ODHA berani memeriksakan diri dan rutin menjalani pengobatan.
“Tujuan akhirnya adalah lingkungan bebas stigma, akses kesehatan merata, dan tidak ada infeksi baru,” tutup Jaya. (Adv Diskominfo Kaltim)
Editor : Emmi

