SAMARINDA: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menempatkan desa wisata sebagai fokus utama arah kebijakan pariwisata pada periode pemerintahan baru.
Dinas Pariwisata (Dispar) Kaltim menetapkan pengembangan desa wisata sebagai entry point pembangunan sektor wisata daerah, menyusul tekanan fiskal akibat pemotongan transfer ke daerah (TKD).
Kepala Dispar Kaltim, Ririn Sari Dewi, menyampaikan bahwa penyusunan fondasi kebijakan telah dimulai sejak 25 Juli 2025 melalui penyusunan dokumen desa wisata, kemudian disosialisasikan kepada seluruh pemangku kepentingan di kabupaten/kota.
Kebijakan tersebut ditegaskan dalam Bincang-Bincang Pariwisata bertema “Desa Wisata Sebagai Episentrum Generasi Emas Mendorong Pariwisata Berkelanjutan dan Inklusif Melalui Pemberdayaan Pokdarwis dan Inovasi Digital”, yang digelar di atas Kapal Wisata Pesut Mahakam, Samarinda, Minggu 7 Desember 2025.
“Pengembangan desa wisata menjadi entry point bagi kami. Kita berkolaborasi untuk memastikan pembinaan dan upgrade berjalan terarah, sehingga desa wisata bisa menjadi penyokong hulu ekonomi masyarakat dan Pokdarwis,” ujar Ririn.
Berdasarkan Data Dispar Kaltim, saat ini terdapat 105 desa wisata yang tersebar di 10 kabupaten/kota.
Seluruh desa tersebut memiliki karakteristik kebutuhan yang berbeda, mulai dari akses fasilitas dasar hingga penguatan promosi dan kemampuan pengelolaan.
“Permasalahan desa wisata berbeda-beda dan butuh treatment khusus. Ada yang memerlukan pemasaran digital, ada yang masih membutuhkan fasilitas dasar agar layak dikunjungi,” tambahnya.
Dispar Kaltim tidak bergerak sendiri, BUMDes menjadi mitra utama dalam pengelolaan desa wisata, sementara pembiayaan melibatkan dukungan perusahaan swasta, BUMN, hingga kerja sama perbankan untuk memperkuat model pembiayaan berkelanjutan.
Setiap tahun, Dispar Kaltim menargetkan sedikitnya lima desa wisata naik kelas dari kategori “Berkembang” menjadi “Maju”.
Indikator ini dinilai penting untuk mengukur kualitas pengelolaan pariwisata berbasis komunitas.
“Kita berharap desa wisata tidak hanya tumbuh, tetapi memberikan hasil secara ekonomis dan menghidupi masyarakat,” tegas Ririn.
Meski pengembangan sektor wisata menghadapi tantangan akibat pemotongan TKD, Dispar Kaltim tetap optimistis melalui kolaborasi lintas sektor.
Kerja sama dengan Dinas Perikanan, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi-UKM hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) diharapkan memperkuat ketahanan pembangunan pariwisata daerah dan menciptakan pemerataan manfaat hingga ke tingkat desa.
Di sisi lain, Akademisi Politeknik Negeri Samarinda (Polnes), I Wayan Lanang, menilai strategi penguatan desa wisata menjadi langkah tepat untuk memperkuat ekonomi berbasis masyarakat di tengah tekanan fiskal.
Menurutnya, desa wisata harus berangkat dari kekuatan lokal, keaslian budaya, dan kemandirian masyarakat agar tidak terjebak pada imitasi yang tidak relevan dengan karakter daerah.
“Kita punya desa wisata berbasis masyarakat, tetapi jangan fokus pada menghasilkan secara instan tanpa kekuatan komparatif. Wisatawan masa kini, terutama milenial dan Gen Z, menginginkan pengalaman autentik dan sadar lingkungan,” jelasnya.
Lanang mencontohkan Desa Wisata Melahing di Bontang sebagai salah satu praktik baik.
Desa ini berhasil mengolah potensi rumput laut menjadi produk bernilai tinggi dan pengalaman wisata yang unik.
Ia juga menekankan pentingnya peran media digital dalam pengembangan desa wisata.
Wisatawan modern sangat bergantung pada informasi daring, sehingga promosi melalui dokumentasi, publikasi, dan konten kreatif digital menjadi bagian strategis dalam membangun citra desa wisata Kaltim.
“Peranan digital sangat penting untuk desa wisata berbasis budaya. Kontribusi media melalui promosi dan citra publik membantu desa wisata dikenal luas,” tutup Lanang. (Adv Diskominfo Kaltim)
Editor : Emmi

