SAMARINDA: Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) mencatat terdapat 15 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sepanjang periode Januari-Desember 2025.
Angka tersebut setara dengan 1,1 persen dari total kasus kekerasan yang dilaporkan di Kaltim pada periode yang sama.
Kepala DKP3A Kaltim, Noryani Sorayalita, menyampaikan, Kaltim cenderung menjadi tujuan praktik perdagangan orang, bukan wilayah pemasok.
Korban umumnya berasal dari luar daerah, meski kasus internal antardaerah juga mulai terungkap.
“Di Kaltim, kasus TPPO itu merupakan tempat tujuan. Korban biasanya dibawa dari luar. Tapi tidak menutup kemungkinan terjadi di kabupaten/kota hingga antar desa,” ujarnya seusai Rakor Pencegahan TPPO DKP3A di Samarinda, Kamis, 4 Desember 2025.
Menurut Soraya, sapaan akrabnya, bentuk TPPO sangat beragam dan tidak selalu tampak sebagai aktivitas perdagangan konvensional.
Modus baru berkembang, termasuk pekerjaan eksploitasi dan perdagangan terkait bagian tubuh manusia.
“Kadang masyarakat tidak sadar bahwa praktik itu termasuk TPPO. Tujuan TPPO adalah memanfaatkan seseorang demi keuntungan pelaku. Termasuk perdagangan anggota tubuh,” jelasnya.
Dari 10 kabupaten/kota di Kaltim, Balikpapan tercatat sebagai wilayah paling rentan kasus TPPO.
Faktor utamanya adalah posisi Balikpapan sebagai kota transit, sekaligus wilayah penyangga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Kasus terbanyak sementara ada di Balikpapan. Karena Balikpapan daerah transit, dekat IKN, jadi cukup rentan terhadap TPPO,” kata Soraya.
DKP3A menilai angka 15 kasus yang tercatat melalui Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni-PPA) masih kemungkinan di bawah angka nyata di lapangan. Banyak kasus yang belum dilaporkan secara resmi sehingga tidak masuk dalam sistem data nasional.
“Data yang tercatat itu berbasis laporan. Artinya yang tidak dilaporkan tidak terdata. Sangat mungkin jumlah kasus lebih banyak,” tegasnya.
Dalam penanganan korban TPPO, DKP3A bekerja sama dengan UPTD–PPA di tingkat kabupaten/kota dan unsur penegak hukum.
Dinas provinsi fokus pada pendampingan korban, sementara proses hukum dilakukan oleh kepolisian.
Untuk kasus lintas provinsi atau antarnegara, DKP3A memastikan proses koordinasi berjalan cepat agar korban memperoleh pemulihan, termasuk pemulangan ke daerah asal.
“Kalau antar provinsi atau antar negara, kami berkoordinasi dengan dinas daerah asal korban. Korban mendapat pendampingan psikologis dan perlindungan hingga dipulangkan,” jelasnya.
Soraya menekankan, pentingnya literasi publik mengenai jenis dan indikator kekerasan, termasuk TPPO.
Banyak kasus tidak terungkap karena keluarga atau lingkungan tidak memahami bentuk kekerasan yang terjadi.
Ia mengajak masyarakat dan media untuk lebih aktif menjadi pelapor bila menemukan kejadian yang berpotensi TPPO, terutama di lingkungan rentan seperti komunitas pekerja informal, remaja, dan migran.
“Wartawan juga bisa menjadi pintu awal pelaporan. Kalau mengetahui ada dugaan kekerasan atau TPPO, laporkan ke aparat atau dinas terkait,” ujarnya.
Secara umum, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kaltim menunjukkan peningkatan pelaporan.
Per 31 Oktober 2025, DKP3A mencatat 1.110 kasus kekerasan dengan jumlah 1.118 korban diantaranya 39 perden korban dewasa dan 61 persen korban anak-anak.
Jenis kekerasan tertinggi tahun ini adalah fisik, disusul kekerasan seksual dan psikis.
Untuk kasus TPPO, korban beragam usia, namun data terperinci tidak bisa dipublikasikan demi menjaga kerahasiaan identitas. (Adv Diskominfo Kaltim)
Editor : Emmi

