
SAMARINDA: Fraksi Partai Golkar DPRD Kalimantan Timur (Kaltim) menegaskan pentingnya pembaruan regulasi lingkungan hidup di Benua Etam seiring dengan berbagai persoalan krusial yang masih melanda wilayah tersebut.
Melalui juru bicaranya, Andi Satya Adi Saputra, yang juga menjabat Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Fraksi Golkar menyampaikan pandangan umum terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam Rapat Paripurna ke-23 DPRD Kaltim, Senin 14 Juli 2025.
Fraksi Golkar menyoroti bahwa kualitas lingkungan hidup di Kaltim dalam lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Penurunan terjadi pada 2020 hingga 2022 dengan indeks terendah mencapai 74,46, dan mulai membaik pada 2023 dan 2024 masing-masing sebesar 75,47 dan 76,63.
Meski demikian, indikator kualitas air dan kualitas air laut justru mengalami penurunan, yang menurut Fraksi Golkar patut mendapat perhatian serius.
“Hal ini menjadi tantangan besar untuk mencapai target kualitas lingkungan hidup yang diharapkan,” ujar Andi.
Dalam hal pengelolaan sampah, Fraksi Golkar menilai permasalahan masih sangat kompleks, baik sampah dari rumah tangga maupun dari aktivitas industri.
Kesadaran masyarakat masih rendah dalam memilah sampah dan sistem pengangkutan sampah dari rumah ke TPS masih tidak seragam di seluruh daerah.
“Saat ini pemerintah kabupaten/kota hanya mengangkut dari TPS ke TPA. Sementara masyarakat masih kesulitan membuang sampah sisa bangunan dan pohon karena tidak difasilitasi,” tegasnya.
Fraksi Golkar mendorong Pemerintah Provinsi mendukung metode sanitary landfill dan menghentikan praktik open dumping. Solusi lain adalah pengelolaan sampah berbasis komunitas dan pemanfaatan teknologi untuk mengubah sampah menjadi nilai ekonomi.
Fraksi Golkar juga menyoroti pentingnya mengintegrasikan pendekatan daya tampung dan daya dukung lingkungan dalam pemberian izin usaha dan pemanfaatan sumber daya alam. Mereka mendorong Pemerintah Provinsi mewajibkan pelaku usaha menggunakan teknologi ramah lingkungan serta meningkatkan pengawasan terhadap ketaatan perusahaan terhadap perizinan lingkungan seperti AMDAL, UKL-UPL, dan SPL.
“Mohon penjelasan bagaimana kondisi aktual pejabat pengawas lingkungan hidup (PPLH) yang dimiliki oleh DLH Kaltim, berapa jumlah izin yang dapat diawasi, dan apakah pada tahun 2024 telah dilakukan penindakan terhadap pelaku pencemaran lingkungan?” tanya Andi.
Ia mengingatkan berbagai kasus pencemaran yang terjadi di Kaltim, seperti: Pencemaran Sungai Lawak di Kutai Barat (2024), Perubahan warna Sungai Jembayan akibat limbah industri, Mikroplastik dan logam berat di Sungai Mahakam, Pencemaran Sungai Dingan di Muara Lawak, Pencemaran Sungai Sangatta oleh lubang tambang yang menyebabkan 47 korban jiwa dari 2011 hingga 2024, Pencemaran laut Teluk Balikpapan (2018) akibat kebocoran minyak, Kebocoran minyak Pertamina di Sanga-Sanga (Juni 2025) dan Degradasi kawasan mangrove karena pelabuhan khusus dan deforestasi hutan seluas 44.483 hektare pada 2024.
Selain itu, data dari BPS Kaltim menunjukkan bahwa pada 2024 terdapat: 197 desa/kelurahan mengalami pencemaran air,, 25 desa pencemaran tanah, 14 desa pencemaran udara, 285 desa mengalami banjir, 66 desa mengalami tanah longsor, dan 59 desa terdampak kebakaran.
“Ini menjadi alarm serius bagi kita semua. Penegakan hukum, edukasi masyarakat, dan rehabilitasi lingkungan harus segera diperkuat,” tegasnya.
Fraksi Golkar turut menyinggung keberadaan Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang berlaku selama 30 tahun. Mereka meminta klarifikasi dari Pemprov Kaltim terkait implementasi perda tersebut, terutama setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2025 yang baru.
“Mohon penjelasan, apakah perda tersebut tetap relevan atau perlu disesuaikan dengan PP yang baru?” ujar Andi.
Fraksi Golkar menegaskan komitmennya untuk membahas lebih lanjut Raperda tersebut secara mendalam melalui Panitia Khusus DPRD, sesuai mekanisme yang diatur dalam Tata Tertib DPRD Kaltim.
“Kami berharap proses pembahasan nantinya dapat menghasilkan peraturan daerah yang kuat, aplikatif, dan mampu mengatasi berbagai tantangan lingkungan hidup di Kalimantan Timur,” harapnya.
Andi menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Kaltim atas inisiatif menyampaikan raperda tersebut yang merupakan bentuk pembaruan dua perda sebelumnya, yaitu Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Perda Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
“Dengan adanya peraturan daerah yang baru, diharapkan akan lebih mampu menjawab berbagai persoalan lingkungan hidup di Kalimantan Timur pada masa mendatang,” tutupnya.