JAKARTA: Menciptakan budaya keuangan yang sehat, memerlukan keterlibatan generasi muda. Karenanya, liberasi dan inklusi keuangan harus diintensifkan agar generasi muda teredukasi sehingga mereka tidak terjebak rayuan pinjaman online.
Demikian Direktur Pelaksanaan Edukasi Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Halimatus Sadiyah, Psikolog, Pendidik sekaligus Pendiri Sekolah Cikal Najeela Shihab; dan Head of Deposit and Wealth Management UOB Indonesia Vera Margaret, dalam UOB Media Literacy Circle, Rabu (24/4/2024) di Ramayana Hotel Kempinski, Jakarta.
Halimatus Sadiyah mengaku, meski setiap tahun literasi dan inklusi mengalami peningkatan. Namun gap antara indeks literasi dengan inklusi masih cukup tinggi.
Ini memperlihatkan, literasi keuangan masih menjadi persoalan fundamental untuk membangun budaya keuangan yang sehat.
Hal ini termasuk perencanaan keuangan, dan perkiraan keuangan yang dibutuhan agar terhindar dari jeratan pinjaman online (pinjol) ilegal.
Untuk itu lanjutnya, OJK hingga saat ini pun terus berupaya meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
Salah satunya, melalui kegiatan edukasi dengan melibatkan berbagai pihak.
“Dalam hal ini, OJK bekerja sama dengan lebih banyak stakeholder agar bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas,” jelas Halimatus Sadiyah.
Berdasarkan survei 3 tahunan yang dilaksanakan OJK terungkap, tren indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia terus mengalami peningkatan.
Per 2022 indeks literasi keuangan sudah di angka 49,68 persen dari tahun 2019 yang hanya 38,03 persen.
Sementara indeks inklusi keuangan mencapai 85,1 persen dibandingkan tahun 2019 yaitu 76,2 persen.
Sementara Maya Rizano mengatakan, peningkatan literasi untuk generasi muda menjadi sesuatu yang sangat penting, terutama bagaimana menjaga ketahanan finansial mereka.
Apalagi jika melihat saat ini banyak gen Z dan milenial atau yang berusia 19 hingga 34 tahun berkontribusi besar terhadap tingginya kredit macet di pinjaman online hingga lebih dari Rp 700 miliar.
Sedangkan Psikolog, Najeela Shihab menilai, bukan hanya soal literasi keuangan. Tapi jika melihat masalah anak dan keluarga, ekosistem pendidikan, literasi dalam segala hal masih sangat rendah.
“Rendahnya literasi keuangan bukan sesuatu mengagetkan. Kita lihat bahkan kemampuan literasi dan numerasi anak Indonesia di semua jenjang masih rendah,” ujarnya.
Juga kesenjangan berdasarkan latar belakang keluarga yang masih tinggi. Ini yang selalu terpinggirkan, terutama di kelas sosial-ekonomi bawah masalah literasi selalu tertinggal.(*)