SAMARINDA: Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur (Sekda Kaltim), Sri Wahyuni, menegaskan komitmen Pemerintah Provinsi Kaltim terhadap pembangunan berwawasan lingkungan dan energi terbarukan bukanlah wacana, melainkan langkah nyata yang telah dijalankan secara berkelanjutan sejak lebih dari satu dekade lalu melalui program Kaltim Hijau.
Menurut Sri, kebijakan Kaltim Hijau pertama kali dicanangkan pada era Gubernur Awang Faroek Ishak sekitar 15 tahun lalu, dan hingga kini terus bertransformasi menjadi fondasi utama kebijakan lingkungan dan energi daerah.
“Sejak dulu kita sudah punya yang namanya Kaltim Hijau. Dari situ dibentuk Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI), yang kemudian menjalin kemitraan dengan lembaga pembangunan dan dunia internasional,” Sri saat ditemui usai Indonesia Sustainability Energy Week (ISEW) di Samarinda, Senin, 13 Oktober 2025.
Sri menjelaskan, visi Kaltim Hijau telah diintegrasikan dalam dokumen perencanaan jangka menengah daerah (RPJMD) serta renstra perangkat daerah, sehingga implementasinya tidak lagi bersifat sektoral, melainkan lintas bidang.
“Jadi kami sudah terbiasa melaksanakan kegiatan yang tidak merusak hutan, mendorong perhutanan sosial, dan memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat di kawasan hutan tanpa merambah atau merusak ekosistem,” jelasnya.
Sebagai bukti komitmen, Kaltim menjadi provinsi pertama di Indonesia yang berhasil bekerja sama dengan Bank Dunia melalui program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) atau Carbon Fund, sebuah mekanisme pembayaran berbasis kinerja atas keberhasilan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan.
“Kerja sama dengan Bank Dunia itu bukti bahwa komitmen kita diakui secara global. Kita sadar sumber daya alam kita tidak terbarukan, karena itu harus ada keseimbangan antara eksploitasi dan kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Sri mengungkapkan, saat ini Perusahaan Daerah (Perusda) dan perusahaan kelistrikan di Kaltim mulai menjajaki kerja sama dengan investor asal Brunei Darussalam untuk mengembangkan pembangkit listrik berbasis gas alam, yang nantinya bisa dikemas dalam bentuk tabung energi siap jual.
“Perusda kita sedang kerja sama dengan investor dari Brunei. Rencananya, gas akan dijadikan sumber listrik yang bisa dikemas dan dijual ke perusahaan-perusahaan. Ini langkah awal untuk beralih ke energi terbarukan,” jelasnya.
Selain itu, sejumlah perusahaan lokal juga mulai mengembangkan energi alternatif dari cangkang sawit, gas alam, hingga potensi tenaga air dan angin.
“Perusahaan sawit sudah banyak yang memanfaatkan cangkangnya untuk energi. Kita juga masih punya gas, potensi hidro, dan angin. Semua ini bisa jadi sumber energi baru yang mendukung hilirisasi industri,” ungkapnya.
Menurut Sri, arah pembangunan ekonomi Kaltim ke depan adalah hilirisasi industri, yang tidak hanya mendorong nilai tambah produk sumber daya alam, tetapi juga menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan ekonomi daerah.
“Hilirisasi itu penting karena bisa membuka lapangan kerja, meningkatkan konsumsi, dan memicu pertumbuhan ekonomi. Tapi untuk menjalankan hilirisasi industri, kita butuh energi dan di sinilah transisi energi berperan,” katanya.
Sri menegaskan, transisi menuju energi terbarukan tidak berarti menghentikan aktivitas pertambangan secara drastis. Prosesnya dilakukan secara bertahap dan terukur agar tetap menjaga stabilitas ekonomi daerah.
“Bukan berarti pertambangan dihapus begitu saja. Kita lakukan pergeseran perlahan-lahan, sambil memperkuat basis energi baru terbarukan. Inilah strategi transisi yang realistis dan berkeadilan,” tegasnya.
Dengan berbagai langkah tersebut, Pemerintah Provinsi Kaltim menegaskan kembali posisinya sebagai pelopor transformasi energi dan lingkungan di Indonesia.
Program Kaltim Hijau, kerja sama karbon dengan Bank Dunia, dan rencana pengembangan energi terbarukan menjadi pilar utama menuju masa depan Kaltim yang hijau, tangguh, dan berdaya saing global.
“Ini bukan wacana. Kita berkomitmen melaksanakan langkah-langkah konkret. Kaltim siap menjadi contoh bagaimana daerah penghasil energi bisa bertransformasi menuju masa depan yang hijau dan berkelanjutan,” pungkas Sri Wahyuni.
