
SAMARINDA: Ketua DPRD Kalimantan Timur Hasanuddin Mas’ud memastikan upaya mediasi sengketa batas wilayah Kampung Sidrap antara Kota Bontang dan Kabupaten Kutai Timur yang difasilitasi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berakhir tanpa kesepakatan.
Sengketa yang sudah berlangsung bertahun-tahun itu kini akan dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diputuskan secara hukum.
“Kita sudah coba mediasi, tapi tidak ketemu. Akhirnya sepakat untuk tidak sepakat, dan kita lanjutkan saja ke Mahkamah Konstitusi,” ujar Hasanuddin saat diwawancarai, Selasa, 12 Agustus 2025.
Hasanuddin menjelaskan Kampung Sidrap secara geografis lebih dekat ke Kota Bontang, namun secara administrasi berada di wilayah Kabupaten Kutai Timur.
Jarak dari Sidrap ke pusat pemerintahan Kutai Timur mencapai sekitar 80 kilometer, sehingga sebagian besar kebutuhan publik warganya justru difasilitasi oleh Pemkot Bontang.
“Dulunya Sidrap ini wilayah Bontang sebelum dimekarkan. Setelah pemekaran malah keluar dari Bontang. Sekarang hampir 80 persen warganya ber-KTP Bontang,” ungkapnya.
Kondisi ini, menurutnya, menyulitkan warga Sidrap dalam mengakses layanan publik, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pekerjaan.
“Fasilitas sekolah, rumah sakit, dan PDAM banyak difasilitasi Bontang. Kalau mau ke Kutim, harus 80 kilo lagi,” tambah Hasanuddin.
Pertemuan mediasi terakhir berlangsung pada Senin, 11 Agustus 2025 di Kampung Sidrap, Desa Martadinata, Kecamatan Teluk Pandan, Hasanuddin Mas’ud Gubernur Kaltim Rudi Mas’ud.
Dalam forum tersebut, Pemkot Bontang mengajukan usulan agar 163 hektar wilayah Kampung Sidrap dimasukkan ke wilayah administratifnya. Namun, usulan itu ditolak tegas oleh Bupati Kutai Timur Ardiansyah Sulaiman.
“Kita sudah coba mediasi tapi tidak sepakat. Bontang sudah mengajukan permohonan untuk melepaskan Sidrap dari Kutim, tapi Kutim tidak mau,” kata Hasanuddin yang ikut serta mendampingi Gubernur Rudy Mas’ud saat mediasi.
Gubernur Rudi Mas’ud menegaskan bahwa secara de facto Sidrap condong ke Bontang, namun secara de jure tetap masuk wilayah Kutai Timur.
“Kalau bisa selesai di daerah, tidak perlu ke pusat. Tetapi karena tidak sepakat, ya naik ke pusat,” ujarnya kepada wartawan usai mediasi.
Pemprov Kaltim akan menyerahkan hasil mediasi ini ke MK melalui Kementerian Dalam Negeri, dengan batas waktu pelaporan paling lambat 13 Agustus 2025, sesuai ketentuan MK.
Posisi Kutai Timur dalam sengketa ini diperkuat oleh sejumlah ketentuan hukum, antara lain: Permendagri No. 25 Tahun 2005 tentang Batas Wilayah Kabupaten Kutai Timur dengan Kota Bontang, menetapkan Sidrap masuk wilayah Kutai Timur. UU No. 47 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Bontang, yang tidak mencantumkan Sidrap sebagai bagian dari Bontang.
Kemudian, Putusan Mahkamah Agung Tahun 2024 yang menolak gugatan Pemkot Bontang terhadap Permendagri No. 25/2005. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan penentuan batas wilayah harus berdasarkan aturan tertulis dan putusan lembaga berwenang.
Sidrap memiliki tujuh RT dengan mayoritas warganya ber-KTP Bontang dan beraktivitas sehari-hari di kota tersebut. Hasanuddin menyebut, dari sisi kepentingan warga, banyak yang menginginkan masuk ke Bontang karena lebih dekat dengan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan.
“Kalau untuk masyarakatnya, pasti mau pindah karena dekat ke Bontang. Tapi bagaimanapun, sesuai Permendagri, wilayah itu milik Kutai Timur. Jadi biarlah MK yang memutuskan,” tutupnya.