KUKAR: Siang itu di Desa Suka Maju, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara (Kukar), hawa panas mulai terasa menyengat dari tanah yang baru mengering usai diguyur hujan.
Tak ada yang menyangka, dari tempat sederhana itu, lahir gerakan besar yang menjadikan sampah bukan lagi beban, melainkan sumber kehidupan baru bagi warga desa.
Di sanalah berdiri Bank Sampah Mandiri (BSM), sebuah lembaga kecil yang kini menjadi simbol gerakan besar: membalik beban sampah menjadi berkah ekonomi. Sejak berdiri di bawah kepemimpinan Yayuk Sehaty, perempuan 53 tahun yang dikenal ulet, BSM telah mengubah cara pandang warga terhadap sampah.
“Awalnya kami hanya kumpul dan jual ke pengepul, khususnya sampah yang ada nilai jualnya,” ujar Yayuk saat ditemui di lokasi bank sampah, Jumat, 10 Oktober 2025. Kalimat itu sederhana, tapi di baliknya tersimpan perjalanan panjang tentang bagaimana kesadaran tumbuh di tengah keterbatasan.
Pada mulanya, kegiatan itu tak lebih dari upaya spontan segelintir warga yang bosan melihat sampah berserakan selepas kegiatan gotong royong.
Mereka tak punya rencana besar, apalagi visi ekonomi sirkular.
Tapi langkah kecil itu kemudian berkembang menjadi sistem pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat yang kini menjadi kebanggaan desa.
Setiap pekan, warga datang membawa sampah rumah tangga yang telah dipilah, seperti botol plastik, kertas, kardus dan lainnya.
Di bawah naungan bangunan sederhana, petugas BSM menimbang setiap karung sampah dengan timbangan digital yang sudah terkalibrasi. Hasil timbangan lalu dicatat dalam buku tabungan para “nasabah”.
“Dengan sistem seperti ini, warga jadi punya motivasi ganda yakni menjaga lingkungan sekaligus menabung,” kata Yayuk menjelaskan.
Sistem itu ternyata sangat efektif. Warga kini memandang sampah bukan lagi sekadar limbah, melainkan aset.
Setiap kilogram plastik atau kertas yang dikumpulkan berarti saldo bertambah. Tabungan itu bisa dicairkan dalam bentuk uang tunai menjelang Ramadan, tradisi yang kini menjadi bagian dari kebiasaan sosial warga Suka Maju.
“Masing-masing nasabah ada buku tabungannya. Diambilnya setiap menjelang bulan suci Ramadan,” ujar Yayuk.
Namun tidak semua memilih mencairkan dalam uang tunai. Sebagian lebih suka menukarnya dengan bahan kebutuhan pokok: gula, kopi, atau minyak goreng, sesuai nilai saldo.
“Jadi mau ambil gula, kopi, minyak goreng, barang-barang lainnya sesuai dengan nominal tabungannya,” tambahnya.
Hingga kini, Bank Sampah Mandiri tercatat memiliki 365 nasabah aktif, jumlah yang luar biasa untuk sebuah desa kecil. Dari mereka, setiap bulan terkumpul sekitar 1.500 kilogram sampah anorganik. Angka yang mungkin terdengar kecil, namun sesungguhnya menjadi pengurang signifikan bagi volume sampah yang semestinya berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Keberhasilan BSM tidak muncul dari ruang kosong. Ia tumbuh dari jejaring kolaborasi yang kokoh antara masyarakat dan dunia industri.
Yayuk dan warga mendapat dukungan teknis dari PT Sumalindo Hutani Jaya II (SHJ II) melalui program Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Dari perusahaan inilah warga pertama kali menerima pelatihan dan bantuan pembangunan workshop awal bank sampah.
Selain SHJ II, dukungan datang dari PT Pama Persada Nusantara, PT Jembayan Muara Bara (JMB), dan PT Hirmalita Kutai Makmur (HKM). Keempat perusahaan itu tidak hanya memberikan pelatihan dan peralatan, tetapi juga menjadi pemasok sampah industri yang bisa diolah kembali di BSM.
“Mereka juga sudah kirim sampahnya ke sini,” ujar Yayuk.
Kolaborasi tersebut memperkuat fondasi BSM sebagai lembaga sosial-ekonomi yang mandiri. Dari sekadar pengumpulan dan penjualan, warga mulai berinovasi. Dari tangan-tangan kreatif mereka lahirlah berbagai produk daur ulang: lampion dari botol bekas, kerajinan tangan, hingga paving block berbahan plastik.
“Sekarang di lingkungan kami sudah tidak ada lagi sampah yang terbuang,” tutur Yayuk bangga, menunjukkan tumpukan paving block berwarna abu di sudut bangunan. “Semua yang bisa dilebur kami jadikan bahan baku.”
Produksi paving block dimulai pada Juni 2019. Prosesnya sederhana tapi membutuhkan ketekunan tinggi.
Dua kilogram plastik, dari kantong kresek, gelas air mineral, hingga jeriken bekas, dilebur menjadi satu keping paving block. Dalam sehari, warga bisa memproduksi antara 100 hingga 150 keping.
“Satu paving blok membutuhkan 2 kilogram sampah plastik, jadi 100 paving blok membutuhkan sampah plastik sebanyak 200 kilogram. Itu kan sudah mengurangi sampah sebanyak 200 kilo,” ujar Yayuk.
Dengan harga Rp10.000 per keping, produk ini cepat mendapat perhatian. Warga sekitar Tenggarong Seberang mulai menggunakan paving block itu untuk halaman rumah atau jalan lingkungan. Bahkan pesanan datang dari luar daerah.
“Sudah ada pesanan dari PPU sebanyak 42 ribu keping,” sebut Yayuk, merujuk pada Kabupaten Penajam Paser Utara sebagai pemesan besar.
Produksi yang terus berjalan ini membuka lapangan kerja baru bagi warga desa. Para pekerja di bagian cetak menerima upah Rp2.000 per keping, jumlah yang berarti bagi mereka yang sebelumnya tak memiliki penghasilan tetap.
“Selain peduli lingkungan, langkah ini juga menciptakan lapangan kerja,” kata Yayuk.
Kini, Bank Sampah Mandiri dikenal luas sebagai penggerak utama ekonomi sirkular di Kutai Kartanegara.
Pemerintah daerah turut memperkuat dukungan. Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Kukar menyalurkan bantuan berupa satu unit mesin pencacah dan satu kendaraan roda tiga.
“Kami bersyukur bisa mendapat bantuan itu,” ujar Yayuk. Mesin pencacah mempercepat proses pengolahan, sementara kendaraan roda tiga mempermudah pengangkutan dari rumah ke workshop. Namun kapasitas bangunan masih terbatas.
“Kami berharap bisa mendapat dukungan agar bangunan bank sampah ini bisa lebih besar dan layak,” kata Yayuk.
Tak lama kemudian, bantuan datang dari Badan Riset dan Inovasi Daerah (BRIDA) Kutai Kartanegara) berupa dana Rp200 juta yang disalurkan melalui rekening Pemerintah Desa Suka Maju untuk pengadaan kendaraan operasional tambahan.
“Semoga dalam bulan ini sudah dibelikan oleh pihak pemerintah desa. Kami sangat membutuhkan armada,” ujar Yayuk.
Menurut Irawan, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLHK Kukar, bantuan itu merupakan bagian dari strategi pemerintah memperkuat sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
“Upaya kecil di tingkat desa seperti ini sangat berarti untuk mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat,” ujarnya.
Dampak gerakan ini terasa jauh melampaui tumpukan plastik. Ia menumbuhkan kesadaran kolektif warga untuk memilah dan mengelola limbah rumah tangga.
Anak-anak kini terbiasa membawa botol kosong ke rumah untuk dikumpulkan, sementara ibu-ibu rutin memisahkan plastik dari sisa dapur.
Menabung sampah telah menjadi bagian dari ritme hidup di Suka Maju. Ada rasa bangga setiap kali warga datang membawa karung berisi pilahan sampah; mereka tahu, itu bukan sekadar buangan, tapi simpanan yang kelak kembali dalam bentuk manfaat nyata.
Dalam setiap pertemuan kelompok, Yayuk selalu mengingatkan satu kalimat yang telah menjadi semboyan mereka yaitu “Lebih baik hidup dari sampah daripada hidup menjadi sampah.”
Kalimat itu bukan sekadar motivasi, melainkan cermin dari nilai yang hidup di masyarakat, bahwa keberlanjutan bukan hanya soal aturan, tetapi kesadaran yang tumbuh dari hati dan dijalankan dengan tangan sendiri.
Setelah lebih dari lima tahun berjalan, Bank Sampah Mandiri bukan lagi sekadar lembaga pengelola limbah, melainkan wadah belajar bagi banyak desa lain di Kutai Kartanegara.
Di setiap pertemuan kelompok, Yayuk kerap mengingatkan satu kalimat yang sudah menjadi semacam semboyan: “Lebih baik hidup dari sampah daripada hidup menjadi sampah.”
Kalimat itu bukan sekadar ungkapan motivasi, tapi penegasan nilai yang hidup di tengah masyarakat.
Bahwa keberlanjutan tak bisa datang dari peraturan semata, melainkan dari kesadaran yang tumbuh perlahan, dipelihara bersama, dan dijalankan dengan tangan sendiri.
Kini, setelah lebih dari lima tahun berjalan, Bank Sampah Mandiri bukan lagi sekadar lembaga pengelola sampah, tapi wadah belajar bagi banyak desa lain di Kutai Kartanegara.
Beberapa lembaga datang berkunjung untuk menimba pengalaman, melihat bagaimana sistem tabungan sampah diterapkan, dan bagaimana produk daur ulang bisa dipasarkan.
Program ini juga melahirkan efek domino yakni tumbuhnya kepercayaan diri warga desa terhadap kemampuan mereka mengelola sumber daya sendiri. Dari hal sederhana seperti memilah sampah, mereka belajar tentang manajemen, pencatatan keuangan, dan bahkan pemasaran produk.
BSM perlahan menjelma menjadi ekosistem sosial yang menghidupkan prinsip ekonomi sirkular di tingkat akar rumput.
Sebuah bentuk kemandirian yang lahir bukan dari kebijakan top-down, melainkan dari kesadaran bersama untuk menjaga ruang hidup.
Keberadaan Bank Sampah Mandiri kini tak lagi sekadar kebanggaan Desa Suka Maju, tetapi juga menjadi magnet bagi perubahan sosial di sekitarnya. Setiap pekan, warga dari desa tetangga berdatangan untuk belajar dan meniru sistem yang dibangun dengan sabar selama bertahun-tahun itu.
Mereka melihat sendiri bagaimana tumpukan sampah yang dulunya hanya menebar bau dan menjadi beban kini menjelma menjadi sumber ekonomi baru, membuka lapangan kerja.
Aktivitas itu berlangsung nyaris tanpa henti, terutama saat pesanan sedang ramai. Di tengah hiruk pikuk sederhana itu, Yayuk masih setia mengawasi setiap proses. Ia memastikan kualitas produk tetap terjaga dan tak ada satu pun bahan yang terbuang percuma.
“Semua bisa berguna kalau kita mau mengelolanya,” ujarnya Yayuk pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Keberhasilan Bank Sampah Mandiri yang menembus perhatian dunia internasional menjadi dorongan baru bagi Yayuk dan timnya untuk terus berinovasi.
“Kami pernah kedatangan aktivis dari Jerman dan Spanyol,” sebutnya.
Kunjungan itu membuka mata mereka bahwa apa yang dilakukan di desa kecil seperti Suka Maju ternyata mampu menginspirasi banyak orang di luar negeri.
Selain itu, Yayuk kini kerap diundang menjadi narasumber dalam berbagai forum lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Di sana, ia berbagi pengalaman tentang bagaimana sampah yang selama ini dianggap tak bernilai, bisa menjadi jalan menuju kemandirian dan martabat hidup.
Perjuangannya juga membawanya melangkah ke berbagai ajang perlombaan teknologi tepat guna, dari tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional. Dari setiap kesempatan itu, Yayuk selalu pulang dengan membawa sesuatu yang lebih dari sekadar piala atau piagam. Kepuasan batin!, karena apa yang ia lakukan di desa kecilnya diakui dan menginspirasi banyak orang.
Dari kegiatan itulah, semakin banyak jaringan terbentuk, mulai dari lembaga pendidikan, organisasi perempuan, hingga komunitas wirausaha sosial yang melihat potensi besar dari pengelolaan sampah berbasis warga.
Tak jarang, para tamu yang datang dibuat terkesan dengan ketertiban sistem kerja warga Suka Maju. Di ruang sederhana yang menjadi pusat kegiatan, setiap karung sampah dicatat, ditimbang, dan dikonversi ke nilai tabungan dengan teliti. Tidak ada yang terbuang, tidak ada yang terlewat. Semuanya dikelola dengan rasa memiliki yang kuat.
Yayuk berharap perjalanan Bank Sampah Mandiri tak berhenti di sini. Ia ingin gerakan kecil yang lahir dari Desa Suka Maju ini menular ke desa-desa lain di Kutai Kartanegara, bahkan ke luar Kalimantan.
