
KUKAR : Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar), Kalimantan Timur berusaha memunculkan desa-desa wisata sebagai bagian dari strategi pembangunan pariwisata berkelanjutan.
Namun, tak sembarang desa bisa menyandang predikat itu. Ada sejumlah indikator yang harus dipenuhi dan diuji secara komprehensif sebelum ditetapkan sebagai desa wisata.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pariwisata (Dispar) Kukar Arianto mengungkapkan bahwa penetapan desa wisata mengacu pada sejumlah kriteria fundamental.
Penekanannya pada keberlangsungan kelembagaan, potensi daya tarik, serta keterlibatan aktif masyarakat.
“Desa wisata tidak hanya dilihat dari potensi alam atau budaya yang dimiliki, tetapi dari bagaimana desa itu mengelola, menghidupkan, dan menjadikan pariwisata sebagai kekuatan ekonomi berbasis komunitas,” ujar Arianto saat dikonfirmasi wartawan, Senin, 7 April 2025.
Kriteria pertama yang harus dipenuhi adalah keberadaan dan masa aktif kelembagaan desa yang bergerak di bidang pariwisata.
Dalam hal ini, kelompok sadar wisata (Pokdarwis) menjadi unsur utama yang menjadi motor penggerak pembangunan wisata di tingkat lokal.
Pokdarwis tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana kegiatan wisata, tetapi juga sebagai fasilitator antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha.
“Keberadaan Pokdarwis menjadi indikator awal. Jika tidak ada atau tidak aktif, maka desa tersebut belum bisa kita intervensi dalam program pengembangan desa wisata,” jelas Arianto.
Pokdarwis yang baik adalah yang mampu merancang dan menjalankan paket wisata secara mandiri.
Kemudian, bekerja sama dengan masyarakat, serta mampu menjaga kesinambungan aktivitas wisata yang ramah lingkungan dan berorientasi pada kesejahteraan warga.
Kriteria berikutnya adalah potensi daya tarik wisata yang dimiliki desa. Daya tarik ini bisa berasal dari kekayaan alam seperti panorama hutan, sungai, dan air terjun, atau dari unsur budaya seperti ritual adat, seni tradisional, dan bangunan bersejarah. Termasuk pula daya tarik buatan atau hasil kreativitas warga yang menjadi magnet bagi wisatawan.
“Desa wisata harus memiliki kekuatan yang membedakan dari desa lainnya. Bisa berupa keunikan alam, karakter budaya yang masih lestari, atau pesona kehidupan sehari-hari yang autentik,” tutur Arianto.
Pemerintah menekankan pentingnya keaslian dan kekhasan desa sebagai nilai jual utama. Dengan demikian, wisatawan tidak hanya menikmati destinasi, tetapi juga pengalaman hidup yang autentik di tengah masyarakat lokal.
Faktor lain yang tak kalah penting adalah komitmen masyarakat dalam mengembangkan potensi desa wisata.
Partisipasi warga menjadi syarat mutlak, sebab tanpa dukungan komunitas lokal, pengembangan desa wisata hanya akan menjadi proyek temporer tanpa akar yang kuat.
“Potensi sumber daya lokal harus dilibatkan sepenuhnya. Semua harus bergerak bersama,” kata Arianto.
Keterlibatan masyarakat bukan hanya dari sisi operasional, tetapi juga dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan.
Dengan begitu, desa wisata benar-benar menjadi milik bersama dan tidak didominasi oleh kepentingan luar.
Dispar Kukar telah menyusun tahapan yang harus dilalui desa sebelum ditetapkan secara resmi sebagai desa wisata.
Dijelaskan Irianto bahwa proses itu dimulai dari kegiatan sosialisasi dan pembentukan Pokdarwis.
Langkah selanjutnya dengan pemetaan potensi wisata, pelatihan pemandu wisata dan penyediaan homestay. Kemudian, pelatihan kuliner dan pembuatan cinderamata, hingga pelatihan penyusunan paket wisata.
Tahapan terakhir adalah peluncuran resmi desa wisata yang menandai kesiapan desa dalam menerima kunjungan wisatawan.
“Kami tidak ingin asal meluncurkan. Semua proses harus dilewati dengan matang agar desa yang ditetapkan benar-benar siap dari sisi sumber daya manusia, infrastruktur, dan manajemen wisata,” tegas Arianto.
Dengan pendekatan yang bertahap dan berbasis komunitas, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara berharap desa wisata tidak hanya menjadi wajah baru sektor pariwisata, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi lokal yang inklusif. Strategi ini juga diarahkan untuk melestarikan warisan budaya dan menjaga kelestarian lingkungan.
“Kita membangun ekosistem yang tahan lama, dengan masyarakat sebagai aktor utama,” pungkas Arianto. (Adv)