SAMARINDA : Hari Ibu bukan hanya tentang kasih sayang dan kelembutan seorang ibu, melainkan juga tentang kekuatan, perjuangan, dan peran besar perempuan dalam membangun masyarakat.
Dalam diskusi terbuka yang digelar komunitas Perempuan Mahardhika di Teras Samarinda, Minggu, (22/12/2024), isu ibuisme dan stereotip gender yang membatasi perempuan kembali diangkat sebagai refleksi penting untuk memaknai Hari Ibu.
Diskusi ini menjadi ruang bagi para perempuan untuk membongkar warisan budaya yang kerap menempatkan perempuan hanya di lingkup domestik, sembari menyerukan pentingnya kesetaraan gender dan keadilan sosial.
Devy Khusnul Khotimah, Perempuan Mahardhika Samarinda, mengungkapkan bahwa “ibuisme” adalah konsep yang menempatkan perempuan hanya dalam ruang lingkup domestik sebagai ibu rumah tangga.
“Budaya ini telah membatasi perempuan, seolah-olah perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, emosional, dan lemah. Padahal, perempuan memiliki kapasitas yang sama dengan laki-laki,” ujar Devy.
Menurutnya, perempuan seperti bumi yang memberikan kehidupan dan dampak nyata. Namun, kontribusi besar ini seringkali terkurung dalam rumah, tanpa kesempatan berkembang lebih jauh.
“Seluruh ibu hebat, tidak harus dipatok pada peran sebagai ibu rumah tangga saja. Perempuan memiliki banyak pilihan, termasuk bekerja dan berkontribusi di masyarakat,” tegasnya.
Selain itu Disya, Perempuan Mahardhika Samarinda, menyoroti tantangan yang dihadapi ibu pekerja.
“Meski kesetaraan gender telah banyak diperjuangkan, diskriminasi masih terjadi. Pemerintah belum menyediakan fasilitas yang memadai seperti daycare inklusif dan terjangkau,” jelasnya.
Ia juga menyoroti beban ganda yang harus ditanggung ibu pekerja. Pagi-pagi mereka harus menyiapkan kebutuhan keluarga, lalu bekerja dengan risiko intimidasi hingga kekerasan seksual di tempat kerja. Ini beban besar yang perlu diatasi bersama.
Negara harus hadir untuk perempuan, dari menyediakan fasilitas penitipan anak yang aman hingga memastikan implementasi Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak yang baru disahkan Juli 2024. Diskusi ini juga menyerukan pentingnya solidaritas perempuan untuk melawan ketidakadilan dan kekerasan.
“Perempuan tidak boleh diam saja. Jika terjadi kekerasan, kita harus membela diri. Hari ini adalah momentum untuk bergerak bersama,” pungkas Disya.
Diskusi ini menjadi pengingat bahwa Hari Ibu semestinya dimaknai sebagai Hari Gerakan Perempuan Indonesia, sebuah hari untuk merayakan perjuangan perempuan dan melawan batasan peran yang dibebankan oleh sistem patriarki.(*)