SAMARINDA: Kepolisian Resor Kota (Polresta) Samarinda menetapkan enam orang tersangka dalam kasus perakitan 27 bom molotov yang ditemukan di lingkungan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mulawarman, Jalan Banggeris, Samarinda.
Dari jumlah itu, 4 orang, mahasiswa dari Unmul yang sebelumnya sudah ditangguhkan penahanannya dan dua orang terbaru yang diamankan diduga sebagai aktor intelektual.

Kedua pelaku ditangkap pada Kamis, 4 September 2025, pukul 16.00 WITA, di lahan kebun milik salah satu keluarga tersangka di KM 47 Kelurahan Bukit Merdeka, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Salah satunya, MS alias NH (38), disebut polisi sebagai sosok aktivis yang kerap hadir dalam aksi unjuk rasa di Samarinda, ia juga merupakan alumni mahasiswa Fisipol Unmul. Lebih dari itu, saudara N ini salah satu orang yang menginisiasi aliansi kotak kosong pada Pilkada Samarinda 2024 lalu.
N ditangkap bersama AJM alias Lae (43), seorang warga asal Siantar, Sumatera Utara yang berdomisili di Samarinda.
“Berdasarkan kesimpulan kami, saudara N ini adalah inisiator, otak perencanaan, sekaligus penyedia bahan baku. Diduga kuat yang bersangkutan merupakan aktivis yang sering terlibat aksi-aksi jalanan di Samarinda,” ujar Kapolresta Samarinda, Kombes Pol Hendri Umar dalam konferensi pers, Jumat malam, 5 September 2025.
Berdasarkan hasil penyelidikan, rencana perakitan bom molotov bermula dari pertemuan pada Jumat, 29 Agustus 2025 pukul 16.00 WITA. Dalam pertemuan itu, N bersama dua orang lain yang masih buron, Mr. X dan Mr. Y, merancang aksi anarkis pada 1 September di Gedung DPRD Kaltim.
“N yang menginisiasi ide membuat bom molotov. Ide ini kemudian disetujui oleh Mr. X dan Mr. Y. Tidak hanya itu, N juga menghubungi Mr. Z yang menyatakan kesanggupan membiayai pembelian material,” jelas Hendri.
Pada Minggu, 31 Agustus 2025 pagi, N dan Mr. Z membeli bahan baku bom molotov berupa jeriken berisi pertalite 20 liter, botol kaca, dan kain perca.
Pada awalnya, semua bahan itu akan dibawa ketempat mereka bertemu yakni Warkop yang berada di Jalan M. Yamin. Kendati N mengaku tidak ada respon dari pihak X, akhirnya dibawa ke sekretariat Himpunan Mahasiswa Sejarah FKIP Unmul melalui perantara AJM alias Lae dan seorang mahasiswa berinisial R, salah satu dari empat tersangka sebelumnya.
“Jadi jelas, N adalah otak. Dia yang menginisiasi, membeli bahan, lalu menggerakkan mahasiswa untuk merakit. Sementara Mr.Z menjadi donatur,” kata Kapolresta.
Selain 27 bom molotov, polisi juga mengamankan barang bukti tambahan dari tangan N dan Lae. Antara lain tiga unit ponsel, sebuah buku catatan, selembar poster, bundel kliping koran, lima stiker, sebuah buku berjudul Gerakan Nasional Pasal 33, bundel dokumen Gerakan Perlawanan Mahasiswa, satu buah payung, serta tiga lembar selebaran orasi demonstrasi.
Menurut Hendri, beberapa barang bukti berupa buku dan stiker akan diteliti lebih jauh.
“Ada indikasi doktrinasi dengan paham tertentu yang bersifat lintas daerah bahkan internasional. Tim Bareskrim masih mendalami hal ini,” ungkapnya.
Para tersangka, dijerat Pasal 1 Ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara. Mereka juga dijerat Pasal 187 dan Pasal 187 bis KUHP dengan ancaman delapan tahun penjara.
Sementara itu, tiga orang lain yang berperan besar dalam perencanaan, yakni Mr. X, Mr. Y dan Mr. Z, masih buron. Polisi meyakini ketiganya memiliki peran vital: mulai dari penyedia tempat, pengawas perakitan, hingga pemberi dana.
“Anggota kami bersama Subdit Jatanras Polda Kaltim dan Bareskrim Polri sedang memburu mereka. Dua di antaranya warga Samarinda, dan satu lagi berdomisili di luar Kaltim,” tegas Hendri.
Dari hasil pemeriksaan, N mengaku rencana penggunaan bom molotov dimaksudkan sebagai bentuk kekecewaan terhadap DPRD Kaltim. Targetnya diarahkan pada aksi unjuk rasa 1 September 2025 lalu.
“Kami tegaskan, upaya ini murni ilegal dan sangat membahayakan masyarakat. Karena itu proses hukum akan ditegakkan sampai tuntas,” pungkas Hendri.