SAMARINDA: Nasib Pesut Mahakam semakin mengkhawatirkan. Jumlah mamalia air tawar endemik Kalimantan Timur (Kaltim) itu kini hanya tersisa sekitar 60 ekor, membuatnya masuk kategori “kritis terancam punah” dalam daftar merah International Union for Conservation of Nature (IUCN).
Data Yayasan Rare Aquatic Species of Indonesia (RASI) mencatat, dalam satu dekade terakhir populasi pesut turun dari 80 ekor pada 2014 menjadi hanya 60 ekor pada 2024.
“Penurunan ini cukup cepat untuk spesies yang sangat terbatas dan tidak bisa berpindah ke habitat lain,” ujar Danielle Kreb, Scientific Program Coordinator RASI, dalam siaran YouTube, Jumat, 10 Oktober 2025.
Danielle menegaskan bahwa Pesut Mahakam secara ilmiah berbeda dari pesut Irrawaddy di Myanmar maupun lumba-lumba laut.
Satwa ini hidup sepenuhnya di air tawar, lahir, berkembang biak, hingga mati di Sungai Mahakam.
Adaptasi biologisnya pun unik: pesut tidak mengandalkan penglihatan, melainkan sistem sonar alami (ultrasonik) yang memancarkan gelombang suara melalui bagian kepala yang disebut melon.
Mekanisme tersebut memungkinkan mereka mendeteksi ikan atau rintangan dengan suara berfrekuensi tinggi hingga 120 kilohertz, tanpa bergantung pada penglihatan.
Ancaman terbesar bagi pesut berasal dari jaring insang nelayan (gillnet) berukuran besar yang dipasang di aliran utama sungai.
Sebagian besar kematian terjadi saat pesut tersangkut jaring dan mati lemas karena tidak bisa naik ke permukaan untuk bernafas.
Selain itu, tabrakan dengan kapal cepat serta paparan racun dari aktivitas penangkapan ikan turut memperburuk kondisi.
Pada 2024, RASI mencatat lima kasus kematian, sebagian akibat tabrakan dan keracunan perairan.
“Kami pernah menemukan bangkai dengan kandungan racun sangat tinggi di tubuhnya,” kata Danielle.
Untuk mengurangi risiko, sejak 2020 RASI memperkenalkan alat sederhana bernama “Banana Finger”, pita kuning pemantul suara yang dipasang di jaring nelayan.
Hingga kini, 260 alat telah dipasang pada jaring milik 160 nelayan.
“Sejak itu, tidak ada lagi pesut yang mati terperangkap di kawasan konservasi,” ungkap Danielle.
Program ini berjalan bersama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan membentuk kawasan konservasi perairan di Muara Pahu, Kota Bangun, dan Muara Muntai, habitat utama Pesut Mahakam.
Meski angka kematian menurun, ancaman ekologis masih tinggi. Aktivitas transportasi sungai, pencemaran, serta penurunan kualitas habitat menjadi tantangan jangka panjang.
Danielle menegaskan, Pesut Mahakam bukan hanya simbol ekologi Kalimantan Timur, melainkan juga indikator kesehatan sungai.
“Kalau mereka punah, itu artinya Sungai Mahakam sudah tidak sehat lagi,” katanya.
Ia berharap masyarakat, terutama nelayan dan pemerintah daerah, terus menjaga kelestarian habitat pesut melalui pengawasan aktivitas perairan, pengelolaan sampah, serta penerapan alat tangkap ramah lingkungan.
“Kesadaran masyarakat sudah mulai meningkat. Harapan kami, kerja sama ini terus berlanjut supaya cucu-cucu kita masih bisa melihat Pesut Mahakam di sungai ini,” tutup Danielle.