
KUKAR : Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) Aris Marfai menyatakan bahwa hingga saat ini, baru 4.000 desa yang memiliki produk hukum terkait batas wilayah.
Selain itu, sekitar 12.000 desa lainnya telah melaksanakan proses penegasan batas, namun belum memiliki Surat Keputusan (SK) resmi.
Aris menyampaikannya saat Rapat Koordinasi (Rakor) Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang digelar secara virtual, Senin, 17 Maret 2025. Pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Pemkab Kukar) juga mengikutinya di ruang rapat sekretaris daerah.
Rakor tersebut dirangkai dengan penandatanganan nota kesepahaman terkait sinergi tugas dan fungsi di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang, pemerintahan dalam negeri, kehutanan, transmigrasi dan Informasi geospasial, pemeriksaan kesehatan gratis serta implementasi program 3 Juta Rumah.
Dalam forum tersebut, Aris Marfai menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah daerah dalam percepatan penyelesaian batas desa dan kelurahan.
Dalam hal ini, ia menjelaskan BIG bertanggung jawab dalam produksi data geospasial skala besar dengan peta detail 1:5000 di seluruh Indonesia.
“Kami akan menyapu bersih seluas 1,9 juta kilometer persegi untuk menyediakan data spasial yang akurat bagi kebutuhan transmigrasi, agraria, perumahan, hingga tata ruang,” ujarnya.
Aris juga menyoroti pentingnya data spasial dalam pengelolaan tata ruang wilayah, termasuk dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan pengembangan konsep smart city di kota-kota besar.
“Jika mengacu pada Permendagri Nomor 46 Tahun 2016, peta dasar yang dikerjakan BIG atau satelit dengan resolusi spasial 4 meter dapat digunakan sebagai alat pelacakan dan penentuan batas desa. Namun, cakupan ini masih jauh dari target,” paparnya.
Aris pun mendorong pemerintah daerah untuk segera menetapkan SK bagi 12 ribu batas desa yang sudah dirancang bersama BIG.
Sementara itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid menegaskan kolaborasi lintas sektor sangat diperlukan dalam penyelesaian berbagai isu pertanahan.
“Kami menghadapi tiga tantangan utama, yaitu reforma agraria, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional (PSN), serta perencanaan dan pengelolaan tata ruang,” jelasnya.
Menurut Nusron, ada empat aspek utama yang menjadi fokus kementeriannya, yaitu legalisasi tanah, penilaian tanah (land value), revisi RTRW, serta pengadaan tanah untuk PSN.
Ia juga menyoroti pentingnya kesamaan antara Nomor Identifikasi Bidang (NIB) tanah dengan nilai objek pajak untuk meningkatkan transparansi dalam transaksi lahan.
“Jika NIB tanah dan NIB pajak bisa diselaraskan, maka transaksi jual beli tanah serta pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) akan lebih transparan, karena tidak ada lagi aset yang bisa disembunyikan,” tegas Nusron.
Terkait pengadaan tanah, Nusron mengakui banyak proyek strategis nasional mengalami keterlambatan akibat tarik-menarik kepentingan di masyarakat.
Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan bisa membantu mempercepat proses penetapan lokasi proyek.
“Kami juga tengah menjalankan Integrated Land and Spatio Planning Project (ILASPP) yang didanai Bank Dunia dan melibatkan beberapa kementerian terkait,” ucapnya.
Dengan kerja sama lintas sektor, pihaknya optimis masalah pertanahan dapat diselesaikan lebih cepat. (Adv)

 
		 
