

SAMARINDA: Proyek terowongan tunnel Kota Samarinda merupakan perdana yang dihadirkan di Pulau Kalimantan dan digadang-gadang dapat mengurai kemacetan di kawasan Gunung Manggah, Kecamatan Sambutan.
Terowongan ini menghubungkan Jalan Sultan Alimuddin ke Jalan Kakap, tepat di sekitaran wilayah Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada.
Namun demikian, proyek pembangunan terowongan yang dijanjikan akan selesai pada tahun 2024, masih jauh dari penyelesaian.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD Kota Samarinda Kalimantan Timur, Samri Shaputra mengkritik Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) atas kurangnya transparansi dan dugaan pembohongan terkait dokumen proyek tersebut.
Menurutnya, sejak awal proyek ini berjalan, pemerintah kota sudah diberi peringatan untuk menyelesaikan semua dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diperlukan.
Namun, ketika Dinas PUPR menyatakan bahwa semua dokumen sudah lengkap, permintaan untuk melihat dokumen fisiknya tidak dipenuhi.
“Sikap ini jelas merupakan pembohongan terhadap DPRD kota. Mereka menyatakan dokumen sudah lengkap, tetapi ternyata masih dalam proses,” tegas Samri saat ditemui di kantor DPRD Kota Samarinda, Selasa (11/6/2024).
Samri menyoroti bahwa proyek terowongan yang diinisiasi tidak bertujuan untuk mengatasi masalah yang ada, melainkan lebih sebagai keinginan pemerintah kota.
Sebelumnya, masyarakat Jalan Otto Iskandardinata, atau dikenal sebagai Gunung Manggah, telah melakukan hearing dengan DPRD Kota Samarinda untuk mencari solusi dalam mengurangi kecelakaan yang sering terjadi.
“Kami sudah menyampaikan keluhan ini kepada pemerintah kota untuk dianalisa. Namun, solusi yang muncul justru proyek pembangunan terowongan tanpa adanya dokumen Amdal,” ujarnya.
Politisi PKS itu menekankan bahwa pemerintah kota tidak menghargai DPRD dan bertindak seolah lebih berkuasa.
Rencananya, pihaknya akan mengadakan rapat pimpinan dan meminta data-data terkait pembangunan terowongan ini pada Rabu (12/6/2024) mendatang.
“Jika memang benar tidak ada Amdal, kami akan menggunakan hak angket atau hak interpelasi untuk memanggil Wali Kota Samarinda. Kami juga mengancam tidak akan mengeluarkan anggaran perubahan untuk melanjutkan proyek ini,” jelasnya.
“Beberapa kali hearing dengan Dinas PUPR hanya berujung pada jawaban bahwa dokumen masih dalam proses,” pungkasnya.(*)
