SAMARINDA: Sekolah Rakyat Terintegrasi 58 Kalimantan Timur (Kaltim) yang baru berjalan sejak tahun ajaran 2025 masih menghadapi keterbatasan sarana prasarana dasar.

Kepala sekolah, Rabiatul Adawiyah, mengatakan bahwa meski kelas sudah tersedia dengan papan tulis, meja, dan kursi, banyak kebutuhan lain yang belum terpenuhi.
“Kalau papan tulis, meja, kursi memang sudah ada. Tetapi LCD, sound system, bahkan spidol pun belum tersedia. Untuk perpustakaan juga belum ada sama sekali, belum ada buku maupun rak. Jadi proses perpustakaan belum berjalan,” ungkap Rabiatul saat diwawancarai usai pembukaan MPLS, di SMA 16 Samarinda Selasa, 30 September 2025.
Selain fasilitas belajar, sarana ibadah dan olahraga juga masih minim.
Mushola, yang seharusnya menjadi fasilitas penting bagi siswa, sementara waktu dialihkan ke ruang makan. Namun, ruang itu belum dilengkapi ambal dan sekat pemisah.
“Untuk lapangan olahraga sama sekali tidak ada. Bola pun tidak ada. Anak-anak ingin sekali bermain di lapangan SMA 16, tapi kami khawatir menimbulkan salah paham karena harus pinjam fasilitas mereka,” jelasnya.
Kendala lain adalah air bersih yang sering macet. Bahkan, pada pagi hari, siswa dan guru terpaksa mandi di SMA 16 Samarinda.
“Awalnya saya merasa tidak enak karena hampir semua kebutuhan harus menumpang ke tetangga. Tapi itulah kondisi keterbatasan yang ada,” ujarnya.
Rabiatul mengaku sebagian kebutuhan sekolah masih dipenuhi secara darurat dengan meminjam fasilitas dari sekolah lain.
Printer dipinjam dari SMA 3 Samarinda, sementara sound system dipinjam dari SMA 13.
Untuk kebutuhan makan, sekolah masih mengandalkan katering dengan biaya Rp15 ribu per porsi untuk siswa SMA dan Rp13 ribu untuk siswa SD, ditambah Rp7.500 untuk snack.
Setiap siswa mendapat jatah makan tiga kali sehari dan dua kali snack. Mereka dilarang membeli makanan dari luar sekolah untuk menjaga kesehatan.
Saat ini, Sekolah Rakyat Terintegrasi 58 menampung 46 siswa, terdiri dari 25 siswa SMA dan 21 siswa SD. Para siswa berasal dari berbagai daerah di Kalimantan Timur, mulai dari Berau, Balikpapan, Paser, hingga Kutai Timur.
Salah satu siswi, Selia dari Berau, mengaku senang bisa kembali bersekolah meski harus menempuh perjalanan panjang.
“Kami dari Berau menempuh perjalanan 16 jam bersama Dinas Sosial. Sudah empat hari di sini, tapi rasanya betah karena bisa bertemu teman-teman dari berbagai daerah dan bisa melanjutkan pendidikan yang pantas,” katanya.
Sekolah ini ditopang oleh 14 guru untuk mengajar siswa SD dan SMA. Namun, kebutuhan tenaga pengajar tambahan, wali asrama, staf penunjang, hingga petugas keamanan masih sangat mendesak.
Rabiatul berharap pemerintah segera memberi perhatian lebih besar pada kebutuhan dasar sekolah, mulai dari fasilitas belajar, perpustakaan, mushola, lapangan olahraga, hingga penunjang kehidupan asrama.
“Apa pun yang ada kami manfaatkan. Tapi memang banyak PR yang harus segera dipenuhi agar kegiatan belajar mengajar bisa berjalan lebih optimal,” pungkasnya.