
SAMARINDA: Upaya mediasi antara Kelompok Tani Mekar Indah (KTMI) dengan PT Mahakam Sumber Jaya (MSJ) kembali gagal menemukan titik temu. Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPRD Kaltim di Gedung E, Kamis, 4 September 2025 berakhir tanpa kesepakatan, dengan kedua pihak tetap pada posisi masing-masing.

Sengketa ini berawal dari klaim KTMI atas ribuan hektare lahan di Desa Bukit Pariaman, Kecamatan Tenggarong Seberang. Klaim yang muncul sejak akhir 1990-an tersebut semakin disorot setelah pada 2009 Camat Tenggarong Seberang, Henry Hasyim, mencabut rekomendasi kelompok karena dinilai cacat administrasi. Dokumen klaim tidak memiliki tanda tangan RT setempat, sementara luas lahan yang diklaim hingga 8.000 hektare dianggap melanggar aturan.
Berdasarkan Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2016 dan UU Nomor 56 Tahun 1960, penguasaan lahan pertanian untuk perorangan maksimal hanya 20 hektare, menyesuaikan tingkat kepadatan wilayah.
Meski rekomendasi dicabut, KTMI tetap melanjutkan klaimnya. Pada 2005 pernah ada kesepakatan dengan PT MSJ di Kantor Camat Tenggarong Seberang, mencakup mekanisme izin pengeboran, ganti rugi tanam tumbuh, dan pelibatan ketua kelompok dalam pembebasan lahan.
Namun, implementasi kesepakatan itu justru memunculkan konflik baru di lapangan, termasuk tumpang tindih klaim dengan kelompok lain.
PT MSJ menegaskan lahan yang disengketakan berstatus kawasan hutan berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999. Pada 2022, Polda Kaltim bahkan menghentikan penyidikan laporan KTMI, menegaskan tidak ada pelanggaran hukum oleh perusahaan.
Kuasa hukum PT MSJ, Pasarma Siahaan, menekankan bahwa perusahaan hanya bisa memberikan tali asih untuk tanaman tumbuh, bukan ganti rugi lahan.
“Kalau tanam tumbuh sudah ada tali asih. Tapi kalau lahan, jelas tidak bisa. Statusnya kawasan hutan. Kalau kami ganti, justru melanggar hukum,” ujarnya.
Di sisi lain, kuasa pendamping KTMI, Jumran, menegaskan pihaknya tidak akan mundur. KTMI bahkan menyiapkan langkah hukum hingga ke level internasional jika jalur nasional menemui jalan buntu.
“Kami hanya minta kepastian. Kalau memang diakui, berikan hak kami. Kalau tidak, jangan malah diberikan ke kelompok baru. Kalau semua jalur di dalam negeri tertutup, kami siap ajukan sampai ke Komnas HAM bahkan ke ICRC di Jenewa,” tegasnya.
Dalam forum RDP, anggota Komisi I DPRD Kaltim Salehuddin menilai posisi hukum KTMI memang lemah, namun aspek sosial tidak bisa diabaikan.
“Meski secara legal formal sulit dibuktikan, persoalan ini jangan hanya dilihat dari sisi hukum. Pendekatan sosial tetap harus ditempuh supaya tidak melebar dan merugikan masyarakat,” katanya.
Sementara itu, anggota DPRD Kaltim Didik Agung Eko Wibowo menekankan pentingnya menjaga stabilitas daerah.
“Kalau konflik ini terus berlarut, iklim investasi bisa terganggu. Stabilitas ekonomi juga ikut terdampak. Ini yang harus sama-sama dijaga,” ujarnya.
Hingga akhir RDP, PT MSJ menegaskan siap membawa masalah ini ke jalur hukum jika aksi sepihak KTMI, termasuk penutupan jalan hauling seperti yang terjadi Juni dan Juli 2025, kembali terjadi. Sementara KTMI tetap bersikeras mempertahankan klaimnya.
Mediasi yang buntu ini menambah panjang daftar sengketa lahan di Kaltim yang belum menemukan penyelesaian. Dengan kedua pihak sama-sama mengeraskan posisi, jalan hukum tampaknya menjadi opsi yang sulit dihindari.