SAMARINDA: Konsep desa wisata diarahkan menjadi episentrum pertumbuhan pariwisata Kalimantan Timur (Kaltim), dengan fokus pada pariwisata berkelanjutan, pemberdayaan kelompok sadar wisata (Pokdarwis), dan inovasi digital sebagai motor penggerak generasi muda.

Strategi ini dibahas dalam forum “Bincang-Bincang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif”, yang digelar Dinas Pariwisata Kaltim bersama jurnalis di atas Kapal Pesut Harmony, Minggu, 7 Desember 2025.
Forum tersebut mengangkat tema “Desa Wisata sebagai Episentrum Generasi Emas: Mendorong Pariwisata Berkelanjutan dan Inklusif Menuju Pemberdayaan Pokdarwis dan Inovasi Digital”, membahas peran desa wisata dalam menumbuhkan ekonomi berbasis komunitas.
Diskusi dilakukan sepanjang pelayaran dari Dermaga Pasar Pagi Samarinda menuju Museum Mulawarman Tenggarong, sejak pukul 09.00 hingga 16.00 WITA.
Kepala Dinas Pariwisata Kaltim, Ririn Sari Dewi, mengatakan arah pembangunan desa wisata telah ditetapkan melalui Peraturan Gubernur Nomor 35 Tahun 2025 tentang Pengembangan Desa Wisata, yang menjadi kerangka resmi peta jalan pengelolaan desa wisata, pendanaan, dan kemitraan lintas sektor.
“Desa wisata bukan hanya aktivitas wisata, tetapi pemberdayaan masyarakat desa agar mampu menghasilkan nilai ekonomi secara mandiri. Ini fokus kita,” ujar Ririn.
Menurutnya, regulasi tersebut mendorong desa wisata membangun model bisnis sesuai karakter lokal, melalui kolaborasi antara pemerintah daerah, BUMDes, BUMD, perbankan, dan kelompok masyarakat.
Data Dinas Pariwisata Kaltim menunjukkan terdapat 105 desa wisata rintisan di wilayah Kaltim.
Beberapa sudah naik kelas menjadi desa wisata berkembang hingga maju, seperti Desa Wisata Pela di Kukar yang dikenal dengan ekowisata Pesut Mahakam, Bontang Kuala dan Malahing di Bontang, serta Tritip di Balikpapan.
Selain itu, Pemprov mencatat ada 175 Pokdarwis aktif, yang selama ini menjadi motor pengelolaan atraksi desa wisata, promosi, edukasi wisata, hingga pengembangan ekonomi kreatif berbasis desa.
“Tantangan tiap desa berbeda: infrastruktur, SDM, pengelolaan, sampai literasi digital. Karena itu dukungan tidak boleh sama untuk semua,” jelas Ririn.
Ia menekankan desa wisata terbukti tangguh saat pandemi Covid-19. Ketika sektor wisata konvensional berhenti, aktivitas ekonomi berbasis komunitas tetap bergerak dan menjaga pendapatan warga.
Ririn menilai pengembangan desa wisata harus melibatkan generasi milenial dan Gen Z yang lebih akrab dengan kamera, narasi digital, konten kreatif, dan tren sustainable tourism.
“Teknologi menjadi pintu masuk desa wisata Kaltim. Anak muda mampu mengubah potensi desa menjadi narasi digital yang menarik di ruang publik,” katanya.
Ia menekankan pendekatan pentahelix menjadi kunci keberhasilan desa wisata: pemerintah, pelaku usaha, komunitas lokal, akademisi, dan media.
Media disebut memainkan peran penting dalam membentuk persepsi publik melalui ruang digital.
“Tulisan media akan menghiasi ruang digital kita. Itu yang menentukan cara orang melihat desa wisata Kaltim,” ujarnya.
Perjalanan menyusuri Sungai Mahakam digunakan untuk mengamati potensi wisata sungai dan budaya pesisir secara langsung.
Diskusi mengalir sambil melewati sejumlah kawasan tepi sungai, yang selama ini menjadi ruang interaksi sosial dan ekonomi masyarakat.
Wisata kapal dinilai dapat berkembang sebagai ruang diskusi publik, pertemuan komunitas, hingga promosi ekonomi kreatif.
Minat masyarakat terhadap wisata sungai terlihat dari penggunaan enam kapal wisata dalam agenda serupa sepanjang tahun 2025.
Ririn menyebut potensi wisata sungai perlu dikembangkan lebih modern, namun tetap menjaga identitas lokal.
“Konsepnya tidak boleh terserap oleh model wisata luar. Misalnya Pringgodani di Tritip, harus disesuaikan agar tidak menghilangkan identitas lokal Kaltim,” ungkapnya.
Pengembangan desa wisata disiapkan sebagai program berkelanjutan, bukan sekadar kegiatan seremonial atau event sesaat.
Arah pengembangan jangka panjang diarahkan untuk memperkuat ekonomi desa berbasis komunitas, membuka lapangan usaha baru, melestarikan budaya lokal dan meningkatkan literasi digital masyarakat desa.
“Desa wisata tidak boleh hanya jadi alat ekonomi sesaat. Ia harus tumbuh dari budaya dan komunitas, dan menjadi model pemberdayaan yang inklusif,” tegas Ririn.
Dengan regulasi, dukungan pembiayaan, dan penguatan komunitas, Kaltim menargetkan desa wisata menjadi episentrum pariwisata daerah sekaligus ruang tumbuhnya generasi muda yang sadar ekologis dan memiliki kemampuan inovasi digital. (Adv Diskominfo Kaltim)
Editor : Emmi

