
Samarinda – Minimnya perangkat asesmen untuk menguji keahlian profesi jurusan pada Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) di Kaltim dinilai akan berdampak saat perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.
Hal tersebut menjadi perbincangan hangat forum Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) SMK se-Kaltim.
Sebab jika dibayangkan, dari 219 jumlah SMKN yang ada di Kaltim hanya terdapat 12 LSP yang menguji kompetensi para pelajar.
LSP merupakan lembaga yang melaksanakan aktivitas pengujian dan pemberian sertifikasi profesi pada sekolah profesi seperti SMKN.
Bahkan yang lebih memprihatinkan, dari 12 LSP tersebut tidak semua memiliki penguji yang sesuai dengan kebutuhan profesi jurusan yang ada.
Selain itu, tenaga asesor untuk melahirkan sertifikasi keahlian sudah banyak yang expired (kedaluwarsa) dalam hal masa berlakunya jabatan sebagai asesor.
Dari sebelumnya sekitar 200 orang kini hanya tersisa 64 orang saja. Karena idealnya setiap satu satuan pendidikan harusnya memiliki satu LSP.
“Jadi ini terus terang saja, hal ini menjadi pekerjaan rumah (PR) penting bagi Pemprov Kaltim. Dan selama ini mohon maaf pemerintah itu sangat alpa atau mengabaikan terkait dengan pengembangan SMKN di Kaltim,” tegas Ketua Komisi IV DPRD Kaltim Rusman Yaqub usai melakukan RDP bersama Forum LSP SMKN Kaltim dan Disdikbud Kaltim, Senin (7/3/2022).
Padahal ke depan, SMK ini mestinya menjadi andalan dalam rangka menjawab kebutuhan pasar kerja yang sekarang ada di hadapan mata yakni perpindahan IKN ke Kaltim.
“Kalau cara tata kelola dan pengembangan SMK kita hanya seperti ini tidak ada lompatan, maka saya pastikan kita akan betul menjadi penonton di IKN,” tegasnya di Sekretariat DPRD Kaltim.
“Bayangkan kita tidak pernah melakukan penambahan asesor bahkan asesor yang ada telah 152 expired dari 216 tinggal 64. Itu fakta dan bukti bahwa tidak pernah diurus,” tambahnya.
Lebih jauh, dalam hasil RDP tersebut, sambung Rusman, ternyata terdapat permasalahan yang begitu kompleks yang menyebabkan tidak maksimalnya perhatian pemerintah terhadap SMKN. Salah satunya adanya benturan aturan antara pusat dan daerah seperti bantuan operasional sekolah (Bosnas) yang menetapkan jumlah peserta didik tidak boleh dilampaui.
Sehingga pihaknya juga mengusulkan agar biaya operasional sekolah itu yang mendekati ideal yang mestinya Rp 6,5-7,5 juta per siswa tiap tahunnya.
“Karena sampai saat ini kita baru mampu di standar Rp 4-4,5 juta saja per siswa tiap tahunnya, di mana cukupnya. Selama ini kan cantolannya hanya melalui beasiswa artinya sifatnya sementara,” kata Rusman.
Rusman menegaskan jika hal ini benar serius dan tidak boleh dianggap enteng karena tata kelola dan pengembangan SMK di Kaltim memang jelas masih di bawah standar dan target.
Maka Komisi IV akan melakukan tindak lanjut, dan menilai harus membuat peta jalan percepatan pengembangan SMKN karena kalau tidak akan tertinggal.