Samarinda – Pagar gedung DPRD Kaltim kembali dipenuhi masa yang menolak sejumlah kebijakan pemerintah karena dinilai tidak prorakyat, Rabu (6/4/2022). Sebanyak 13 lembaga yang tergabung dalam Aliansi Mahakam (Masyarakat Kalimantan Timur Menggugat) hari ini turun ke jalan dengan membawa tiga tuntutan.

Pertama, menolak dan membatalkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kedua, menolak dan membatalkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketiga, menolak perpanjangan masa jabatan Presiden dan Pemilu 2024.
Sebelumnya, Aliansi Mahakam telah melakukan konsolidasi pertama pada Sabtu (2/4/2022) membahas permasalahan yang sedang terjadi di Indonesia.
Humas Aliansi Mahakam Arya Yudistira mengatakan bahwa mahasiswa dan masyarakat Samarinda belakangan telah memperhatikan isu terkait kebijakan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang telah menaikkan tarif PPN yang sebelumnya 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022.
Kenaikan tarif PPN ini diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
“Dalam beleid ini, aturan perpajakan lain juga diatur seperti pajak karbon,” kata Arya Yudistira.
Sementara mengenai kenaikan harga BBM, lanjut Ketua Senat Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Samarinda itu, berdasarkan pengumuman resmi PT. Pertamina, harga BBM jenis Pertamax per 1 April 2022 kini naik di kisaran Rp 12.500 sampai Rp 13.500 per liter dari sebelumnya Rp 9.000 sampai Rp 9.400 per liter.
Begitu juga dengan keterangan tertulis yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan yaitu mulai 1 April 2022 tarif PPN secara resmi naik menjadi 11 persen.
“Dengan kenaikan ini, harga sejumlah barang dan kebutuhan masyarakat akan ikut terkerek, rakyat pun ikut tercekek,” tuturnya.
Sama halnya dengan wacana penundaan atau perpanjangan periode masa jabatan presiden yang kini sangat bertentangan dengan kondisi riil masyarakat.
Menurutnya, wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan hanya nafsu politik dan kepentingan oligarki sebab tidak ada urgensi yang jelas terkait penundaan tersebut. Bahkan, ini sangat bertentangan dengan konstitusi dan mengkhianati reformasi.
Jika terealisasi, usulan ini jelas bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Sebab Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 telah menegaskan bahwa Pemilu dilakukan lima tahun sekali dan pada Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden bersifat tetap (fix term) yakni lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Terlebih konstitusi tidak membuka ruang adanya penundaan pelaksanaan Pemilu ataupun perpanjangan masa jabatan presiden dan wakil presiden.
“Penundaan Pemilu tersebut juga berpotensi mencoreng muka bangsa karena ingkar pada komitmen dalam bernegara yang tertuang dalam konstitusi,” tandasnya.
Selain itu, penundaan Pemilu juga sama artinya menunda regenerasi kepemimpinan yang seharusnya terus berjalan demi menghindari kekuasaan yang terlalu panjang yang berpotensi membuka praktik korupsi.
Regulasi-regulasi yang disahkan pemerintah sangat tidak relevan dengan kondisi rakyat yang sedang berusaha untuk bangkit dari keterpurukan.
Sehingga berangkat dari sejumlah persoalan tersebut, Aliansi Mahakam menilai bentuk pengawasan terhadap keputusan yang dinilai abal terhadap rakyat.
“Perjuangan tetap harus konsisten dilanjutkan, jika perjuangan belum sampai tujuan maka api perjuangan tidak akan pernah padam,” tegasnya.
