
SAMARINDA: Kasus kekerasan terhadap dua siswi kembar di SMP Negeri 16 Samarinda kembali menggugah perhatian publik.
Aksi pemukulan yang terekam dalam video berdurasi 1 menit 15 detik itu viral di media sosial, memicu keprihatinan atas keamanan lingkungan sekolah dan pengaruh media digital terhadap remaja.
Dalam video yang tersebar luas, tampak kedua korban dikeroyok lebih dari lima siswi lainnya.
Peristiwa tersebut terjadi pada Selasa, 20 Mei 2025, dan diduga dipicu oleh penolakan korban untuk membayar iuran sebesar Rp5.000 untuk kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), khususnya latihan menari.
Penolakan itu memicu ejekan dan tekanan dari teman sebaya, yang kemudian berujung pada tindak kekerasan fisik.
Akibat insiden ini, kedua korban mengalami lebam dan luka ringan.
Menanggapi kasus tersebut, Anggota Komisi IV DPRD Kalimantan Timur, Agus Aras, menyampaikan keprihatinannya.
Ia menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengawasi aktivitas digital anak-anak, terutama dalam penggunaan media sosial yang bisa memengaruhi emosi dan perilaku.
“Kami juga tentu minta kepada para orang tua untuk membatasi akses anak terhadap media sosial, karena hal tersebut bisa memicu emosi anak yang masih labil dan mudah terpengaruh,” ujar Agus, Jumat, 23 Mei 2025.
Agus menilai konsumsi konten digital yang tidak sehat menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya perilaku agresif di kalangan pelajar.
Ia juga mengimbau agar anak-anak lebih diarahkan pada kegiatan yang edukatif dan membangun karakter.
“Jangan sampai anak-anak lebih banyak main HP yang tidak ada manfaatnya. Orang tua harus lebih aktif,” tegasnya.
Pihak sekolah, melalui Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan Nurul Aini, membenarkan adanya insiden kekerasan tersebut, namun menyebutnya sebagai kesalahpahaman antar siswa, bukan aksi perundungan (bullying).
“Memang dipukul, korban ada lebam dan biru-biru sedikit lah. Tapi ini bukan kasus bullying. Ini perkelahian akibat kesalahpahaman,” kata Nurul.
Pasca kejadian, Polsek Sungai Kunjang memfasilitasi mediasi antara korban, pelaku, pihak sekolah, dan Dinas Pendidikan Kota Samarinda.
Seluruh pihak sepakat menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan dan menandatangani surat pernyataan damai.
Meski telah diselesaikan secara administratif, banyak pihak menilai penyelesaian ini kurang memberikan efek jera, terlebih karena insiden kekerasan terjadi di lingkungan sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi siswa.
Kasus ini juga memicu wacana perlunya evaluasi terhadap pelaksanaan program P5, khususnya soal iuran siswa yang dinilai dapat menimbulkan diskriminasi dan tekanan sosial di lingkungan sekolah.
Agus Aras meminta pihak sekolah lebih bijak dalam menyusun kegiatan ekstrakurikuler agar tidak memberatkan siswa, apalagi hingga menimbulkan konflik.
“Kita tidak ingin ada siswa yang tersingkir hanya karena masalah iuran. Pendidikan seharusnya membentuk karakter, bukan memicu konflik,” tegasnya.
Kasus di SMPN 16 Samarinda menjadi pengingat pentingnya sinergi antara sekolah, orang tua, dan masyarakat dalam membentuk lingkungan pendidikan yang aman, sehat, dan bebas kekerasan. Penguatan pendidikan karakter, komunikasi antar siswa, dan pengawasan digital perlu menjadi prioritas bersama.