
SAMARINDA: Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kalimantan Timur, Damayanti, menyoroti besarnya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) APBD 2024 yang mencapai Rp2,59 triliun.
Ia menyebut angka tersebut bukan sekadar sisa anggaran, melainkan cerminan lemahnya perencanaan dan eksekusi program pembangunan yang berdampak pada tertundanya hak-hak masyarakat.
“Silpa itu bukan cuma angka. Itu bisa berarti tertahannya hak masyarakat untuk menikmati program dan layanan yang mestinya mereka terima tahun ini,” ujar Damayanti.
Menurutnya, jika Silpa terjadi akibat efisiensi belanja atau kenaikan pendapatan, hal itu masih dapat diterima. Namun, ketika Silpa muncul karena kegiatan tidak terlaksana, maka itu merupakan sinyal adanya kesalahan sejak proses perencanaan.
“Kalau karena efisiensi, masih bisa dimaklumi. Tapi kalau karena kegiatan gagal dijalankan, maka ada yang keliru sejak awal,” tegasnya.
Damayanti menyebut kondisi ini sebagai alarm serius yang menunjukkan bahwa tata kelola keuangan daerah masih belum berjalan optimal. Ia meminta agar Pemprov Kaltim mengevaluasi menyeluruh seluruh siklus penganggaran mulai dari tahap perencanaan, pengalokasian, pelaksanaan, hingga pelaporan.
“Pendapatan kita bagus, realisasi PAD mencapai Rp10,23 triliun atau 102,53 persen dari target. Tapi capaian itu tidak diimbangi dengan belanja yang optimal, sehingga Silpa justru membengkak,” jelas politisi Komisi IV DPRD Kaltim tersebut.
DPRD menilai bahwa program-program yang dirancang cenderung hanya bersifat administratif, tanpa pertimbangan matang atas kesiapan teknis dan sumber daya perangkat daerah. Beberapa kegiatan bahkan sekadar hasil “copy-paste” dari tahun sebelumnya tanpa inovasi.
“Kalau ini tidak dibenahi, setiap tahun kita akan menghadapi masalah yang sama. Anggaran tidak terserap, pembangunan tidak jalan, dan rakyat hanya diberi janji,” lanjutnya.
Damayanti menambahkan bahwa Silpa dalam jumlah besar juga merugikan daerah karena anggaran tersebut seharusnya bisa memberikan manfaat langsung ke masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan kualitas layanan pendidikan, dan akses kesehatan.
Ia juga menyinggung bahwa lemahnya serapan belanja bukan berarti efisiensi, melainkan bisa jadi akibat buruknya koordinasi antarorganisasi perangkat daerah (OPD), proses tender yang molor, hingga pelaksanaan yang tidak sesuai jadwal.
DPRD Kaltim pun mendesak agar ke depan, Pemprov tidak hanya fokus pada penyusunan dokumen anggaran, tetapi juga pada pelaksanaan yang disiplin dan pengawasan yang ketat. Reformulasi pendekatan perencanaan juga diperlukan agar anggaran lebih realistis dan berdampak langsung ke masyarakat.
“APBD harus jadi alat perubahan, bukan sekadar formalitas. Kita harap tahun 2025 Silpa bisa ditekan dan setiap rupiah benar-benar bekerja untuk rakyat,” pungkas Damayanti.