SAMARINDA: Kalimantan Timur (Kaltim) berhasil menembus peringkat delapan nasional dalam indeks daya saing digital 2025.
Pencapaian ini menempatkan Kaltim sebagai provinsi dengan ekosistem digital paling unggul di kawasan Kalimantan.
Berdasarkan laporan East Ventures Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2025, Kaltim meraih skor 47,9. Capaian ini sekaligus menegaskan kesiapan daerah untuk memanfaatkan teknologi digital di berbagai sektor, termasuk pendidikan politik dan partisipasi elektoral.
Data EV-DCI juga mencatat jumlah pengguna internet di Kaltim mencapai 5,5 juta jiwa, dengan sekitar 3,4 juta di antaranya aktif menggunakan media sosial.
Angka itu setara dengan lebih dari separuh populasi provinsi.
Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Kaltim, Tri Wahyuni, menilai fakta ini sebagai peluang besar untuk menjadikan media sosial sebagai ruang partisipasi politik yang sehat dan inklusif.
“Generasi muda Kaltim, khususnya Gen Z, lebih percaya pada konten kreatif influencer dibanding sosialisasi politik konvensional,” ujarnya saat menjadi pemateri dalam Sosialisasi Pendidikan Politik yang digelar Kesbangpol Samarinda di Arutalla Ballroom Bapperida, Selasa, 23 September 2025.
Menurut Tri, generasi digital tidak hanya berperan sebagai penonton, melainkan aktif membentuk opini, ikut diskusi, hingga menyebarkan informasi politik.
Jika diarahkan dengan baik, tren ini dapat memperkuat demokrasi di Kaltim.
Dalam forum yang sama, dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman Jamal Amin, membedakan peran influencer dan buzzer.
Influencer, katanya, membangun pengaruh lewat kredibilitas dan kreativitas konten, sementara buzzer lebih sering menyebarkan pesan politik secara masif tanpa basis reputasi.
“Konotasi buzzer cenderung negatif, sedangkan influencer punya peluang lebih besar mengedukasi pemilih lewat bahasa sederhana dan dekat dengan keseharian audiens,” jelasnya.
Jamal menambahkan, di tengah tingginya penetrasi media sosial di Kaltim, influencer bisa berperan sebagai agen literasi digital.
Konten mereka mampu mendorong kesadaran politik, mengajak anak muda ikut memilih, sekaligus mengurangi apatisme.
Meski begitu, tantangan juga tidak sedikit. Kementerian Kominfo mencatat sepanjang 2023-2024, hoaks politik mendominasi percakapan digital menjelang kontestasi elektoral.
Narasi berbasis SARA dan politik identitas masih sering digunakan untuk kepentingan kampanye yang berpotensi memecah belah masyarakat.
Tri menegaskan, kredibilitas dan integritas menjadi kunci agar influencer tidak terjebak dalam arus disinformasi.
Konten politik, katanya, harus berlandaskan verifikasi fakta, etika komunikasi, dan patuh pada aturan kampanye.
“Influencer seharusnya tampil sebagai jembatan edukasi politik, bukan sekadar corong kampanye. Konten kreatif bisa digunakan untuk menyebarkan optimisme, memperkuat persatuan, sekaligus mengajak masyarakat menggunakan hak pilih dengan cerdas,” tegasnya.
Penguatan partisipasi politik di ruang digital, lanjutnya, harus dilakukan secara kolaboratif antara pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil.
Aturan kampanye di media sosial pun sudah diatur dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2023 serta UU ITE yang memberi batasan tegas terkait hoaks, ujaran kebencian, hingga serangan pribadi.
Dengan posisi Kaltim di peringkat delapan daya saing digital, peluang partisipasi politik berbasis media sosial dinilai semakin terbuka lebar.
Potensi ini sekaligus menegaskan pentingnya peran influencer lokal dalam membangun demokrasi digital yang sehat, damai, dan inklusif.