
SAMARINDA: Anggota DPRD Kalimantan Timur Abdulloh menyebutkan adanya keterbatasan ruang bagi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi selama masa reses sebagai bentuk kemunduran dalam upaya menjaring kebutuhan publik.
Ia menilai bahwa mekanisme reses seharusnya menjadi wadah terbuka dan partisipatif untuk mendengarkan serta menindaklanjuti usulan warga, khususnya terkait bantuan hibah dan bantuan sosial (bansos) bagi fasilitas keagamaan seperti masjid dan musholla.
“DPRD reses mestinya bisa menyerap semua aspirasi. Tapi kalau seperti sekarang, media saja tidak bisa masuk, terlebih usulan masyarakat juga sulit menyampaikan. Ada pembatasan-pembatasan,” ujar Abdulloh, saat dikonfirmasi pada Senin, 28 Juli 2025.
Ketua Komisi III DPRD Kaltim ini menekankan bahwa hasil reses yang terangkum dalam Pokok-pokok Pikiran (Pokir) anggota dewan seharusnya ditindaklanjuti secara konkret melalui mekanisme penganggaran, terutama dalam APBD Perubahan.
Ia berpendapat bahwa aspirasi masyarakat dapat diakomodasi melalui skema hibah atau bansos, sebab jalur belanja langsung tak memungkinkan untuk usulan-usulan yang bersifat kemasyarakatan dan sosial.
“Maksud saya, akomodir saja masyarakat untuk mengusulkan dan itu diatur oleh undang-undang bahwa DPRD harus menyerap aspirasi masyarakat, dan tentunya usulan masyarakat itu hanya dapat diakomodir dengan bentuk bansos,” terangnya.
Namun dalam pelaksanaannya, Abdulloh mengaku menemukan sejumlah kendala, baik dari sisi teknis maupun kebijakan yang bersumber dari perbedaan pemahaman antar lembaga pemerintah daerah.
Ia mengkritik pernyataan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kaltim yang menyebutkan bahwa penghapusan alokasi hibah dan bansos merupakan arahan langsung dari Gubernur.
Menurutnya, narasi tersebut tidak selaras dengan kenyataan, bahkan berpotensi menyesatkan opini publik.
“Fraksi Golkar garda terdepan untuk mengawal kebijakan Gubernur, karena tidak popular dengan apa yang disampaikan oleh Bappeda yang selalu bilang ini kebijakan Gubernur dan ini masalah teknis serta Gubernur tidak sampai mencampuri kesitu,” tuturnya.
Ia juga mengungkapkan dinamika dalam proses penganggaran yang terjadi antara legislatif dan eksekutif. Salah satu contohnya adalah pembahasan di Balikpapan yang sempat menghasilkan kesepakatan soal pengakomodasian hibah dan bansos, namun berubah tanpa kejelasan menjelang rapat paripurna.
“Rapat di Balikpapan sudah deal untuk mengakomodir hibah dan bansos, begitu mendekati rapat paripurna berubah lagi padahal sudah dibahas pagi hingga sore,” terang mantan Ketua DPRD Balikpapan itu.
Abdulloh menilai, alasan teknis seperti keterbatasan waktu maupun keberadaan regulasi turunan berupa Peraturan Gubernur (Pergub) tidak seharusnya dijadikan alasan untuk menolak aspirasi masyarakat.
Ia meyakini bahwa jika ada kemauan politik dari kepala daerah, maka seluruh perangkat birokrasi seharusnya turut bekerja secara selaras.
“Alasan masalah waktu dan Pergub ini hanya soal teknis dan Gubernur tidak memikirkan sampai ke sana terkait hibah dan bansos. Tidak mungkin Gubernur tidak menyetujui,” tutupnya.