Samarinda – Dalam mendukung Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Provinsi (Ripparprov) Kaltim 2021-2025 memajukan Benua Etam dari sektor pariwisata harus terus digencarkan.
Panitia Khusus (Pansus) Ripparprov Kaltim 2021-2025 menggelar rapat terkait dengan mengundang sejumlah praktisi pariwisata Kaltim seperti dari perhotelan, chef, mayarakat sadar wisata (Masata), dan Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita), Senin (14/3/2022) kemarin.
Ketua Pansus Ripparprov Kaltim Veridiana Huraq Wang mengungkapkan jika dalam hasil rapat yang berlangsung di Gedung E Kompleks Sekretariat DPRD Kaltim terdapat beberapa poin. Pertama, mengenai waktu panjangnya Perda.
“Nah perda ini kan 2021-2025, nah sementara kalau untuk pariwisata mereka membutuhkan kepastian hukum. Karena bagaimana mereka mau investasi ke sektor pariwisata kalau mereka tidak mempunyai kepastian hukum,” ungkap Veridiana Huraq Wang ditemui Narasi.co.
Veridiana menerangkan, jika perda ini dihitung mulai tahun 2021 ke 2025, sedangkan posisi saat ini berada di tahun 2022 dan mungkin akan memulai program kerja secara maksimal di tahun 2023 sehingga waktu berlaku perda hanya tersisa 2 tahun.
Tentunya berangkat dari persoalan tersebut investor pastinya berpikir dua kali untuk membuka destinasi karena modal dinilai akan sulit kembali.
“Jadi mengenai masa berlakunya rencana induk pariwisata, takutnya nanti berubah lagi, kalau berubah lagi padahal kami ini sudah investasi tapi modal tidak balik, nah itu jadi masalah,” terangnya.
Kedua, kesiapan terkait masalah promosi sering kita melakukan promosi tetapi istilahnya tidak siap. Mengambil contoh di Desa Pampang Kelurahan Sungai Siring yang terkenal dengan adanya tari-tarian adat Dayak (suku di Kaltim).
“Nah orang datang di hotel kan setiap hari sedangkan di sana event kegiatannya hanya berlangsung pada hari Sabtu dan Minggu, tidak dibuka setiap hari. Senin mau lihat tidak ada, begitu juga Selasa dan Rabu,” sebutnya.
Kemudian persoalan pemberdayaan masyarakat. Contohnya di Maratua Kabupaten Berau yang sekarang telah dijadikan sebagai kawasan strategi nasional namun justru investor yang masuk di sana adalah bukan orang lokal tetapi dari luar semua.
“Nah sekarang masyarakat di situ apakah mau jadi penonton saja. Itu juga disampaikan supaya bagaimana pemberdayaan kepada masyarakat setempat. Jadi ketika kita misalnya membuat destinasi wisata itu sebenarnya kita berharap masyarakat Kaltim lah yang utamanya, belum lagi masalah infrastrukturnya kalau kita menyebut destinasi wisata, orang pasti mengatakan ini kaltim,” tegasnya.
Tetapi ketika ke sana seperti ke Pulau Derawan, jika berangkat dari Samarinda menggunakan jalan darat itu membutuhkan waktu sekitar 13 jam, tetapi karena akses jalan yang kurang perhatian seperti banyaknya lubang membuat waktu perjalanan menjadi sekitar 20 jam dan tentu ini telah menggeser jadwal orang untuk melakukan kegiatan.
Sebelumnya mau melakukan perjalanan dua hari justru menjadi 3-4 hari karena perjalanan yang cukup panjang. Belum lagi kalau eco wisatanya ke pedalaman seperti wisata di Kutai Barat dan Mahulu yang kini jelas akses jalannya sangat berlubang dan berlumpur jika terkena hujan.
“Permasalahannya cukup kompleks. Jadi konekting antarlembaga sangat diperlukan,” tuturnya.
Bahkan ironisnya, sejumlah pelaku pariwisata yang berada di lapangan ini tidak punya induk di pemerintahan. Sehingga sangat sulit untuk mendapat bantuan guna pengembangan tempat wisata. Baik sarana maupun prasarana pendukungnya.
“Mereka kan pelaku yang berada di lapangan tapi tidak punya induk di pemerintahan. Tidak juga di bawah induk parisiwata, tidak juga digandeng pariwisata, mereka organisasi tapi tidak punya ibu, induk yang konek gitu loh. Bingung mau mengadu ke mana,” tegasnya.
Sebab dari pariwisata ini harapannya ke depan bisa bersentuhan langsung dengan masyarakat bawah.
“Nah ini kan untuk pansus sehingga kita membutuhkan masukan mereka. Nah saya sudah membagi yang pertama akan membuat klaster-klaster, mana yang masuk dalam batang tubuh pasal perda, mana yang masuk lampiran untuk masalah promosi,” kata Ketua Komisi III DPRD Kaltim itu.
Di samping itu juga ada persoalan ke komisi yang membidangi seperti tata laksana pariswisata, masalah kesejahteraan masyarakat, keterlibatan yang harus di seriuskan ke Komisi IV yang akan dibicarakan ke dinas terkait, ada juga persoalan perizinan yang disandingkan ke Komisi II bagaimana memanggil badan perizinan, perindustrian untuk pembinaan ke UMKM dan sebagainya.