SAMARINDA: Luas hutan mangrove di Kalimantan Timur (Kaltim) menyusut drastis dalam beberapa dekade terakhir.
Dari sekitar 950 ribu hektare pada era 1970–1980, kini hanya tersisa sekitar 174 ribu hektare.
Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji menegaskan kondisi ini perlu menjadi perhatian serius karena mengancam keberlanjutan ekologi sekaligus menutup peluang ekonomi masyarakat pesisir.
“Akibat kemajuan zaman, penggunaan alat berat, dan alih fungsi lahan, mangrove kita tergerus. Padahal dulu hampir sejuta hektare, sekarang tinggal ratusan ribu. Ini harus jadi perhatian bersama,” kata Seno Aji saat membuka talkshow Hari Mangrove Sedunia bertema “Jospol Mangrove untuk Pengembangan Pariwisata dan Budaya Berbasis Desa” di Pendopo Odah Etam, Kantor Gubernur Kaltim, Selasa, 26 Agustus 2025.
Ia menjelaskan, program Jospol (Jaminan Sosial Politik Lingkungan) yang menjadi visi dan misi Pemprov Kaltim menempatkan konservasi mangrove sebagai fokus utama.
Menurutnya, kerusakan mangrove tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga berimplikasi pada hilangnya potensi ekonomi.
Mangrove menyimpan cadangan karbon yang besar dan bisa diperdagangkan di pasar karbon internasional, termasuk Eropa, untuk menambah pembiayaan pembangunan daerah.
“Mangrove bukan hanya tentang ekosistem. Potensi karbon bisa kita jual dalam trading global. Ini peluang ekonomi yang tidak boleh diabaikan,” tegasnya.
Seno Aji menekankan, penyelamatan mangrove hanya bisa dilakukan melalui kolaborasi pemerintah, yayasan konservasi, lembaga swadaya masyarakat, dan perusahaan melalui program CSR.
Menurutnya, pelibatan masyarakat menjadi kunci dalam rehabilitasi kawasan mangrove agar fungsi ekologis terjaga sekaligus memberi manfaat ekonomi.
“Kalau kita serius, mangrove bisa jadi benteng ekologi sekaligus sumber ekonomi baru. Jangan sampai kita hanya bangga dengan tambang dan migas, tapi lupa bahwa hutan dan mangrove bisa menyelamatkan masa depan Kaltim,” terangnya.
Pimpinan Redaksi Tribun Kaltim, Sumarsono, dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa mangrove dapat dikembangkan menjadi pariwisata dan budaya berbasis desa.
Ia menilai Kaltim memiliki kekayaan alam luar biasa, termasuk 174 ribu hektare mangrove atau hampir 6 persen dari total luasan nasional.
Menurutnya, potensi tersebut bisa menjadi alternatif sumber pendapatan daerah selain tambang dan migas.
“Kaltim selama ini identik dengan migas dan tambang. Tapi kita juga punya hutan dan mangrove yang indah. Ini bisa jadi sumber pendapatan baru, asalkan masyarakat desa ikut diberdayakan,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya mencegah isu kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) yang justru membebani masyarakat pesisir.
“Yang harus kita pikirkan adalah bagaimana kawasan mangrove ini memberi manfaat ekonomi, bukan menambah beban masyarakat,” tambahnya.
Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2024 (Kepmenhut No. 594 Tahun 2025), Indonesia memiliki luas mangrove eksisting 3.440.464 hektare dengan potensi habitat 769.824 hektare sehingga total 4.210.288 hektare.
Di Kaltim, mangrove eksisting tercatat 240.870 hektare dengan potensi habitat 110.867 hektare, sehingga total 351.737 hektare.
Secara administratif, ekosistem mangrove Kaltim tersebar di 7 kabupaten, 46 kecamatan, dan 234 desa, dengan luasan terbesar berada di Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 110.167 hektare.
Meski demikian, ancaman deforestasi masih besar. Kajian deforestasi periode 2004–2024 menunjukkan kerusakan mangrove dipicu oleh kebijakan ruang, kebutuhan lahan, perizinan, hingga pembangunan infrastruktur.
Sebanyak 38.558 hektare mangrove terdeforestasi, dengan rincian 48,5 persen berubah menjadi tambak, 36,9 persen menjadi semak mangrove, 5 persen menjadi perkebunan, dan 9,6 persen untuk penggunaan lain.
Deforestasi paling banyak terjadi pada kawasan APL HP dan KSA/KPA yang mencapai 97 persen, dengan distribusi PIPPIB kawasan 26 persen, hutan produksi tanpa izin usaha 23 persen, perkebunan 14 persen, APL tanpa izin usaha 14 persen, hutan desa 10 persen, dan kategori lain 13 persen.

 
		 
