MALANG: Setelah menaklukkan lautan pasir dan sabana hijau di Watu Gede, rombongan MSI Group melanjutkan perjalanan menuju spot berikutnya: Sunrise Point Lemah Pasar, atau yang dulunya dikenal dengan nama Bukit Cinta Bromo.
Meski hari sudah menjelang siang, semangat tim masih menyala. Jeep merah yang mereka tumpangi kembali menembus jalan menanjak dengan pemandangan kanan kiri berupa jurang, pepohonan, dan langit biru yang mulai cerah.
Sebelum menuju puncak, rombongan sempat berhenti di area kaki Gunung Batok, tepat di depan hamparan pasir dan kawah Bromo. Angin dingin berhembus membawa butiran pasir halus, sesekali menerpa wajah dan pakaian, namun justru menambah sensasi petualangan.
“Kami makan bakso di bawah Gunung Batok, view-nya langsung ke padang pasir dan kawah. Rasanya beda, antara dingin dan hangat berpadu,” ujar ira Jurnalis Narasi.co.
Di sekitar lokasi banyak bapak-bapak menawarkan jasa naik kuda, sementara ibu-ibu menjajakan cenderamata khas Bromo: gantungan kunci berisi bunga edelweis mini, syal rajut, dan buket kecil dari bunga pegunungan. Rombongan pun membeli beberapa buah tangan sederhana, masing-masing dibanderol Rp5.000.
“Lumayan buat kenang-kenangan, kecil tapi berkesan,” ujar Aminah, reporter Natmed, sambil tersenyum memegang suvenir mungil itu.
Setelah istirahat singkat, perjalanan dilanjutkan menuju Lemah Pasar (Bukit Cinta), salah satu spot terbaik untuk melihat matahari terbit di kawasan Bromo. Jalannya menanjak dan berkelok tajam, dengan tebing di satu sisi dan jurang di sisi lainnya.
“Jalan menuju puncak itu sempit, tapi pemandangannya luar biasa. Di kanan kiri tampak pepohonan dan kabut tipis yang mulai naik,” ujar Adi, jurnalis infosatu.co.
Suasana menjadi semakin menakjubkan ketika mereka tiba di area parkir Lemah Pasar. Dari titik ini, pendakian pendek sekitar 7 menit harus ditempuh menuju puncak bukit. Meski sedikit curam, jalurnya masih terbilang landai.
Lemah Pasar atau Bukit Cinta bukan sekadar tempat melihat matahari terbit, ia menyimpan kisah legenda yang menjadi bagian dari sejarah Suku Tengger. Dikisahkan, di tempat inilah Joko Seger dan Roro Anteng, pasangan yang dipercaya sebagai leluhur masyarakat Tengger, bertemu dan menumbuhkan cinta sejati.
Kini, di puncak bukit berdiri patung Roro Anteng dan Joko Seger, sebagai lambang cinta abadi dan kesetiaan. Dari legenda itu pula muncul kepercayaan lokal: jika seseorang mendaki Bukit Cinta sambil memikirkan orang yang dicintai, maka konon mereka akan berjodoh.
Selain kisah romantisnya, Lemah Pasar juga dikenal sebagai lokasi favorit untuk menikmati sunrise dan Milky Way. Bahkan, beberapa fotografer profesional menilai sudut pandang dari Lemah Pasar lebih indah dibandingkan Penanjakan 1 maupun Bukit Kingkong.
Tiba di puncak, rasa lelah mendaki langsung terbayar. Dari ketinggian 2.680 mdpl, panorama Bromo terhampar megah di depan mata. Gunung Batok tampak berdiri gagah dengan latar belakang Kawah Bromo, sementara di kejauhan tampak Gunung Widodaren, Gunung Watangan, dan puncak Mahameru atap tertinggi Pulau Jawa.
“Walaupun kami datang siang, bukan waktu sunrise, tapi pemandangannya tetap luar biasa. Langitnya cerah, awannya berlapis, seolah kami berada di atas dunia,” ujar Ira sambil menyiapkan kamera untuk berfoto.
Rombongan bergantian berpose di atas bukit, mengabadikan momen dengan latar belakang gunung dan hamparan pasir. Tawa dan sorak bahagia terdengar bersahutan di antara tiupan angin yang kencang.
Setelah puas menikmati panorama dari puncak, tim MSI Group turun perlahan dari bukit. Perjalanan menurun terasa lebih ringan, meski napas masih tersisa dari pendakian sebelumnya.
Rombongan pun bersiap melanjutkan perjalanan berikutnya berbalik arah kembali menuju puncak kawah Bromo, titik puncak eksplorasi mereka hari itu.

