SAMARINDA : Suara Brigadir Jenderal Polisi Rudy Hartono mengalun tegas namun bersahaja di dalam studio podcast MSI Group, Rabu sore, 16 April 2025.
Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Kalimantan Timur (BNNP Kaltim) itu tidak sekadar menyampaikan pidato formal. Namun, ia sedang menggelar perlawanan terbuka terhadap narkoba yang disebutnya sebagai “penjajah tanpa wajah.”
Diskusi bertajuk “Narkoba: Penjajah Tanpa Wajah” itu menyuguhkan tema yang berat namun relevan.
Di tengah arus digital dan derasnya gaya hidup urban, krisis narkotika menjadi ancaman diam-diam yang terus merayap, menggerogoti fondasi bangsa dari dalam.
Bukan kebetulan jika forum ini disiarkan secara terbuka dan menyasar generasi muda. Bagi BNNP Kaltim, ini adalah medan strategis untuk merebut perhatian kelompok yang paling rentan, dan sekaligus paling dibidik oleh jaringan narkoba.
“Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Oleh karena itu dulu beberapa negara datang untuk menjajah Indonesia untuk mengambil sumber kekayaan alam Indonesia,” kata Rudy membuka diskusi.
Dengan logika yang runtut dan gamblang, Rudy membedah bagaimana bentuk penjajahan hari ini tak lagi memakai senjata, tank, atau bendera asing.
Narkoba, menurutnya, menjadi alat kolonialisme baru yang lebih licik: merusak dari dalam, menciptakan perpecahan.
Kemudian, dapat menumbangkan generasi penerus secara perlahan tapi pasti. “Sehingga dia bisa mengambil alih sumber daya alam bangsa ini,” ucapnya tegas.
Statistik menjadi bukti keras betapa seriusnya situasi ini. Lebih dari tiga juta penduduk Indonesia tercatat pernah menggunakan narkotika. Rentangnya pun luas, dari usia 15 hingga 64 tahun.
Artinya, bukan hanya anak muda yang rentan, tetapi juga angkatan kerja dan bahkan para orang tua.
Ironi lain muncul dari sistem pemasyarakatan. Rudy menyebut bahwa sekitar 145 ribu penghuni lembaga pemasyarakatan di Indonesia merupakan pengguna narkoba. Data itu menyingkap fakta menyedihkan, bahwa tempat rehabilitasi sosial justru menjadi potret buram dari sistem yang belum tuntas menangani akar masalah.
Pernyataan tersebut menyoroti bahwa jaringan narkoba telah menyusup ke dalam struktur sosial dan hukum bangsa. Penyelesaian pun tak bisa hanya mengandalkan aparat hukum. Upaya itu butuh pendekatan yang lebih holistik, pendidikan, keluarga, budaya, dan solidaritas sosial.
Sebagai respons atas kondisi darurat tersebut, BNNP Kaltim terus memperkuat langkah-langkah preventif dan kuratif.
Fokus diarahkan pada wilayah-wilayah yang menjadi pintu masuk utama peredaran narkoba di Kaltim, seperti Berau, Kutai Timur, Kutai Barat, dan Bontang.
Daerah-daerah ini menjadi titik strategis dalam mempersempit ruang gerak jaringan narkoba yang selama ini menyusup melalui jalur darat dan laut.
Lebih jauh, BNNP Kaltim kini mulai mengubah paradigma dalam menangani kasus penyalahgunaan narkotika.
Jika sebelumnya tindakan represif menjadi andalan, kini arah kebijakan bergeser menuju pendekatan rehabilitatif yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan.
Langkah ini tak lahir dari ruang hampa. Realitas overkapasitas lembaga pemasyarakatan serta efektivitas pemidanaan yang kian dipertanyakan menjadi pemicu utama.
“Pengguna itu korban. Kalau kita penjarakan terus, mereka tak sembuh. Justru keluar malah naik level jadi pengedar, bahkan bandar. Ini yang harus kita putus,” ujarnya sembari menegaskan metode pendekatan terhadap pengguna narkoba harus berbeda dengan penanganan terhadap pengedar.
Data BNNP menunjukkan bahwa mayoritas narapidana kasus narkotika di Kaltim adalah pengguna. Situasi ini memperparah kepadatan lembaga pemasyarakat, sekaligus menghambat program rehabilitasi yang semestinya menjadi jalan keluar.
Sebagai bentuk terobosan, BNNP Kaltim menggagas program agen pemulihan di dalam lapas. Inovasi ini bertumpu pada kerja sama lintas institusi, di mana petugas lapas dilatih khusus untuk menjalankan fungsi rehabilitasi terhadap narapidana pengguna.
“Kami kerja sama dengan Kanwil Kemenkumham. Para petugas akan dimentori langsung oleh BNN. Ini jadi upaya kuratif dari dalam,” terang Rudy.
Tak hanya di balik jeruji, pendekatan baru ini juga mulai diterapkan sejak tahap awal penanganan kasus.
Melalui kolaborasi dengan kepolisian, pengguna narkoba yang tertangkap kini lebih banyak diarahkan ke jalur rehabilitasi lewat mekanisme assessment terpadu.
Rudy menyebut, Polda hingga Polsek sudah mulai menerapkan skema ini untuk mengalihkan penanganan dari penjara ke pemulihan.
“Sudah banyak pengguna yang tidak lagi langsung ditahan, tapi diserahkan ke BNN untuk direhab. Ini cara kita mengurangi beban lapas dan benar-benar menyembuhkan,” jelasnya.
Sebagai pelengkap dari strategi jangka panjang, pembangunan pusat rehabilitasi terpadu di Kutai Timur menjadi langkah monumental.
Fasilitas ini dirancang untuk menjangkau masyarakat hingga ke pelosok dengan dukungan dari Pemkab Kutim, Kementerian Kesehatan, dan BNNP Kaltim.
Pusat rehabilitasi ini tidak hanya menjadi tempat pemulihan, tetapi juga pusat edukasi dan intervensi berbasis komunitas.
“Fasilitas ini gabungan. Ada petugas dari Balai Rehabilitasi, BNNP, dan pemda. Harapannya desa-desa yang jadi titik rawan seperti di Kutim, bahkan sampai ke pedalaman bisa tertangani langsung dari situ,” kata Rudy.
Lebih dari sekadar kebijakan teknis, pendekatan ini merupakan upaya menyeluruh untuk memutus rantai peredaran narkotika. Rudy menilai, selama ini kebijakan nasional terlalu terpaku pada penindakan hukum, tanpa dibarengi sistem pemulihan yang kuat.
Dengan pendekatan yang lebih manusiawi, strategis, dan berkelanjutan, BNNP Kaltim berharap dapat menekan angka kecanduan, meredam krisis, serta mengembalikan masa depan generasi muda.
“Masalah narkoba ini bukan hanya soal menangkap, tapi soal menyembuhkan. Kalau kita terus mengurung tapi tidak menyembuhkan, ya sama saja menyimpan bom waktu,” sebutnya.
Di ujung percakapan yang sarat makna itu, Brigjen Rudy menundukkan suara, namun tidak kehilangan ketegasan.
Ia menutup diskusi dengan sebuah imbauan yang bukan hanya terdengar sebagai ajakan, melainkan sebagai panggilan moral bagi seluruh anak bangsa.
Perang melawan narkoba, katanya, adalah pertarungan kolektif yang menuntut kehadiran semua pihak, pemerintah daerah, sekolah, tokoh agama, media, dan terutama keluarga. Setiap rumah, setiap kampung, setiap ruang publik, harus menjadi benteng pertama dan terakhir.