JAKARTA: Pemerintah memperkuat komitmen menuntaskan penyakit tuberkulosis (TBC) di Indonesia pada tahun 2030 dengan menyiapkan skema perlindungan sosial bagi pasien, terutama bagi pekerja informal yang rentan kehilangan penghasilan selama masa pengobatan.
Wakil Menteri Kesehatan dr. Benjamin P. Octavianus, menegaskan bahwa strategi penanganan TBC tidak hanya berfokus pada aspek medis, tetapi juga sosial dan ekonomi.
“Penanggulangan TBC membutuhkan pendekatan komprehensif dari deteksi dini, pendampingan pengobatan, hingga perlindungan sosial bagi pasien, terutama pekerja informal yang penghasilannya bisa hilang selama masa pengobatan,” ujar dr. Benny di sela Forum Ilmiah Tahunan ke-11 Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) di Jakarta.
Menurutnya, pemerintah tengah memperluas strategi active case finding atau penemuan kasus aktif, memperkuat pemeriksaan dengan tes molekuler cepat, serta meningkatkan pendampingan pengobatan berbasis komunitas.
Pendekatan ini juga diintegrasikan dengan layanan gizi, HIV, dan penyakit kronis lainnya.
Selain memperkuat layanan medis, pemerintah juga menyoroti pentingnya penghapusan stigma terhadap pasien TBC.
“Pasien TBC harus dijauhkan dari diskriminasi. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan akses layanan kesehatan hingga tuntas pengobatan,” tegasnya.
Kebijakan perlindungan sosial bagi penyintas TBC akan diperkuat melalui kerja sama lintas kementerian.
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tengah mengembangkan Analisis Kebijakan Mikro (AKM) untuk memantau kasus TBC dan stunting secara real-time melalui dashboard digital yang terintegrasi antarinstansi.
Menteri Koordinator PMK Pratikno menjelaskan bahwa pendekatan digital ini diharapkan mampu mempercepat pemantauan program dan memastikan kebijakan berbasis data.
“Kami memperkuat perlindungan bagi penyintas TBC, termasuk larangan diskriminasi di tempat kerja dan kompensasi bagi pekerja informal,” ujar Pratikno.
Transformasi penanganan TBC juga dilakukan melalui pendekatan One Health, yang menghubungkan data kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan untuk mendeteksi penyakit menular lebih dini. Sistem ini dikembangkan melalui platform SIZE Indonesia.
Dari sisi sumber daya manusia, pemerintah menilai modernisasi kompetensi tenaga kesehatan masyarakat menjadi faktor penting.
Kurikulum pendidikan kesehatan masyarakat akan diperkuat dengan literasi data, analisis digital, dan pemanfaatan teknologi kesehatan seperti AI dan dashboard data.
Forum IAKMI turut menyerukan agar tenaga kesehatan masyarakat mengambil peran aktif dalam edukasi dan pengawasan program di daerah.
Sebagai bagian dari strategi pencegahan jangka panjang, Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) juga akan diintegrasikan untuk memperkuat daya tahan tubuh generasi muda terhadap penyakit menular, termasuk TBC.
“Upaya ini adalah investasi bagi kualitas manusia Indonesia. Eliminasi TBC bukan hanya soal kesehatan, tapi juga menjaga produktivitas dan masa depan bangsa,” tutup dr. Benny.
